Ramayana Pujaan
Oleh: Tia Adab
Kutatap
benar-benar lurus ke depan. Kubayangkan aku melayang, menjauh sampai aku ada di
negeri yang begitu indah. Aku di sana bersamanya, menari-nari bersama,
merangkai bunga jadi mahkota, menatap langit yang berhias penuh bintang.
Ku
bayangkan juga. Betapa indahnya, bila ia menyelamatkanku dari segala bahaya
yang mengancamku, dari segala jurang yang memerosokkanku, dari segala petir
yang memekikku. Sampai akhirnya tirai itu terutup, aku berdiri memberi tepukan
tangan. Meriah, sangat meriah. Aku akui, cerita itu, indah.
***
“Sintiaaaaa!!!!
Bangun!!!!”.
GEDEBRUK!!!
Tia
membuka matanya. Dirasakannya bagian belakangnya sakit. Semakin lebar ia
membuka mata, semakin ia sadar. Sekarang, ia sedang berada di lantai.
“Sintiaaa!!!!”.
Terdengar suara ibunya dari luar menggedor-gedor pintu kamar Sintia sambil
teriak-teriak.
“Huh!”.
Gerutu Sintia. Ia baru ingat, bahwa tadi malam pintu kamarnya dikunci. Pantas
saja ibunya sampai heboh begitu. Lalu, ia melihat jam digital yang ada di meja samping tempat tidurnya. Pukul 06:00
“Haaaaaaaaaah???”.
Seketika itu juga, mata Sintia terbuka sangat lebar. Seperti orang yang tidak
sedang bangun tidur. Dengan sigap dan cepat ia langsung berlari ke kamar mandi
dan segera mandi.
Pagi
itu ia menyiapkan dirinya dengan sangat tidak santai. Bahkan ia tidak sempat
menyisir rambutnya dan membedaki wajahnya. Dalam hati ia berdoa, agar pagi yang
terlambat ini tidak akan memasukannya pada buku yang berisi kumpulan-kumpulan
murid yang terlambat.
“Tiaaaaaa!”.
Riri meneriaki Sintia dari lantai tiga.
Di
bawah, terlihat Sintia sedang berbaris bersama dengan lima orang yang
terlambat. Sintia hanya mendelik pada Riri dengan muka asam.
“Sintiaaaa!
Semangat!!!!”.
Lagi-lagi
Riri bikin heboh. Bikin malu saja.
“Hari
gini
terlambat? Hahaha”. Ledek Riri pada jam istirahat.
“Jarang-jarang,
kok”. Protes Sintia.
“Huuu,
makanya jangan suka begadang”.
“Siapa
juga yang begadang”.
“Kamu
itu begadang. Begadang memikirkan yang itu tuuuuh”. Riri menunjuk salah satu
anak laki-laki yang sedang berkumpul di pinggir lapangan. Berbadan tinggi dan
rambut lurus berantakan. Seketika itu juga Sintia terdiam.
“Waaaa,
tuhkan benerrrr”. Riri membuat Sintia tersentak dari lamunannya.
“Hahaha, ketahuan, nih yaaaa”.
“Duuuuh,
apa sih kamu. Ngeledek terus. Tuh, daripada kamu suka begadang mikirin dia”.
Kali ini Sintia menunjuk Rino, teman sekelas mereka yang berbadan besar dan
berkulit hitam. Badannya penuh keringat saat itu juga.
“TIAAAA!!!!!!!!!!!!”.
Protes Riri sambil menjitak kepala sahabatnya itu.
Sintia
tertawa, sambil berlari kecil menghindari hantaman dari sobatnya sejak TK itu.
Tiba-tiba, ia merasa sesuatu bertabrakan dengan dirinya. Seketika itu juga, ia
langsung terjatuh di lantai bersama dengan seorang siswa.
“Maaf,
maaf banget. Tadi nggak sengaja, kok”.
Sintia
membulatkan matanya. Damar. Laki-laki yang baru ia liat di lapangan belum lama
tadi. Kenapa tiba-tiba ada di sini? Berbicara dengan dirinya. Bersentuhan
dengan tubuhnya. Sintia benar-benar merasa seperti ada di dalam surga dalam
dunia yang begitu indah. Ah, seandainya
ini bisa lebih dari satu kali.
“Oo…
i…. iya.. nggak masalah, kok”. Dengan malunya, Sintia tersenyum kaku. Grogi
lebih tepatnya.
“Bener
nih?”. Damar memastikan.
“Iya,
bener kok”. Sintia tersenyum. Senyumannya memang manis. Tapi ia gerogi saat
itu.
“Mmm,
okedeh. Kalau gitu, duluan ya”. Damar meninggalkannya sebuah senyum. Ya, senyum
itu sangat manis. Otomatis terekam dalam otaknya.
“AAAAAAA!”.
Dengan wajah gemerlangnya, Riri menghampiri sahabatnya itu. Terlihat, yang
kaget bukan hanya Sintia. Tetapi, Riri pun juga ikut kaget dan berbunga-bunga.
Sintia
terdiam memandang lurus ke arah perginya
seorang Damar. Dengan matanya yang masih terbuka lebar dengan tatapan tak
percaya. Mulutnya masih menganga dengan ngangaan tak percaya juga.
“Beruntung
kamu, Sin!”. Kata Riri sambil menepuk pundak Sintia. Keduanya terlihat bahagia
tak percaya. Kejadian langka yang tidak akan pernah terlupakan selama hidupnya.
“Ah,
aku nggak percaya”. Reaksi Sintia singkat.
“Aku
juga”.
“Itu
Damar, Riiii”.
“Aku
tau, Tiiiiii”.
“Itu
beneran Damar, Riiiii”.
“Aku
punya mata, Tiiiiii”.
Sintia
tersadar. Ia mendelik pada Riri. Riri hanya mesam-mesem tak karuan. Dengan
senyumannya yang aneh itu. Riri menjitak kepala Sintia perlahan.
Sintia
meringis, “kena kau”. Kata Riri puas.
“Huh,
menyebalkan!”.
“Tapi
aku tetap manis, kannn?’. Riri memamerkan giginya yang berhias pagar berwarna
merah muda itu.
“Huh,
iya”. Jawab Sintia pasrah.
***
Para
Hanoman dengan sigapnya menelusuri hutan yang benar-benar gelap. Dengan
kompaknya mereka berusaha mencari seorang putri cantik bernama, Sinta. Sang
Rama menemukannya, berperang melawan sang Rahwana yang gagah. Akhir cerita,
sang Rama berhasi membunuh Rahwana. Akhirnya, Rama dan Sinta hidup bahagia
selamanya.
KRINGGGG!!!!!!!!!!!!!!!
Sintia
terduduk kaget di atas tempat tidurnya. Sore ini, ia harus segera latihan
menari di tempat kakek Sudjarwo. Ia langsung bergegas mandi dan mendadani diri
secantik mungkin. Ia tersenyum anggun di depan cermin.
“Wahai
cermin. Apa yang kau lihat dari wajahku? Apakah tersirat seorang Sinta dari
kerajaan Alengka? Apakah aku secantik dirinya?”. Sintia berbicara sendiri pada
sebuah cermin.
“Ndok, cepet!”. Terdengar ibunya telah
memanggil dari luar.
“Iya,
bu. Sebentar lagi”.
Kemudian,
Sintia mengambil tasnya dan bergegas masuk ke mobil di samping ibunya.
“Kapan
sendratari itu, Sin?”. Tanya ibunya setelah di dalam mobil dan bergegas
menyalakan mesin.
“Masih
bulan depan, bu. Tokoh Rama pun belum terpilih”.
“Tapi
kamu tetap jadi Sinta, tho?”.
“Iya,
bu”.
“Ya
sudahlah semangat saja. Ibu tau, kamu pasti bisa melakukan yang terbaik”.
Ibunya
memang suka menasihatinya. Tetapi terkadang, ibunya bisa sangat galak apabila
putri tunggalnya itu berbuat kesalahan.
“Iya,
bu. Ngerti”.
“Yo wes, tadi belum sempat coba kue
buatan ibu, tho?” Ibunya mengalihkan
pembicaraan, “tadi ibu buat kue keju dicampur susu. Pasti kamu suka”.
“Wah,
yang benar, Bu? Mana-mana?”.
“Ambil
di jok belakang, kantong plastik warna merah. Di dalamnya ada tempat makan”.
Sintia
langsung menjalankan perintah ibunya dan segera mengambil sepotong. Di
perjalanan, mereka terlihat sangat akrab. Sampai-sampai tidak terasa mereka
sampai di tempat.
“Perhatian,
anak-anak semua. Hari ini, pemeran Rama sudah saya pilih. Tetapi, dikarenakan
dua rekan kita yang menjadi kandidat berhalangan. Jadi, saya akan mengambil
cucuk saya saja untuk menjadi pemeran tokoh Rama”. Pak Djarwo menjelaskan.
Tak
lama , Sintia dan ibunya datang.
“Assalamualaikum”. Sapa Sintia sopan. Ia
bersalaman dengan Pak Sudjarwo dan langsung masuk kebarisan. Ibunya pun juga menyalami
Pak Sudjarwo, mengobrol sebentar dan pamit pada Sintia untuk pulang duluan.
“Ya
sudah, langsung saja. Perkenalkan, ayo, le
kene”. Pak Sudjarwo memanggil cucuknya itu.
Sintia
langsung kaget.
Laki-laki
yang tinggi itu melemparkan senyum ramah pada semua murid kakeknya. Tak heran,
banyak perempuan yang menganga takjub. Seakan-akan, Damar adalah benda antik
yang langka dan jarang dilihat.
“Hai,
saya Damar. Saya harap, saya bisa bekerja sama dengan kalian semua”. Sapanya
untuk yang pertama. Membuat kaum wanita seisi aula mabuk kepayang.
“Baik,
Damar. Mari kakek perkenalkan kamu dengan pasangan bermain kamu nanti”. Pak
Sudjarwo mendadak lebih serius pada Damar, “Sintia, sebentar sini”.
Dengan
ekspresi yang masih kaget dan gugup sekali. Sintia maju dengan malu-malu.
“Ini
namanya, Sintia”. Pak Sudjarwo memperkenalkan Sintia pada cucuknya.
“Loh,
kamu. Kalau nggak salah, sepertinya aku pernah melihat kamu”. Kata-kata Damar
membuat Sintia dan seluruh isi aula kaget. Damar masih ingat!
“I..
iya. Aku rasa, kita satu sekolah”. Sintia mulai angkat bicara.
“Wah,
kebetulan kalau begitu. Mungkin kalian bisa bekerja sama, berkali-kali lipat
lebih baik lagi. Saya yakin itu”. Pak Sudjarwo terlihat sangat senang, “baiklah
semuanya. Mari kita mainkan scenario ini. Karena semuanya sudah lengkap”.
Seluruhnya bertepuk tangan tanda semangat, “selamat datang, Damar”. Ucap
kakeknya mengakhiri pembicaraan.
***
“Iya,
bener, Ri. Aku nggak bohong”.
“Wah,
bisa pas begitu. Aku nggak menyangka loh, Sin”.
“Apalagi
aku, Ri”.
“Waduh,
kamu bisa tambah akrab, dong”.
“Aduh,
nggak tau itu. Yang pasti, aku masih gugup banget tadi, Ri”.
“Hahaha,
itu kan masih pertemuan pertama , Sin. Lama-lama juga pasti biasa”.
“Ya,
semoga sajalah. Asal kau tau, Ri. Dia itu, sangaaat ramah dan baik hati.
Senyumannya benar-benar tulus. Aku nggak menyangka
aku bisa menikmati senyumannya dengan jarak sedekat itu, dengan waktu yang
selama itu, dengan bebas, sebebas itu. Aaaaaaaah, Ri. Aku rasa, aku makin
suka”.
“Halah,
kamu, Sin. Namanya juga orang kasmaran pasti begitu. Ya sudah, aku mandi dulu,
ya”.
“Huuu,
belum mandi kamu, ya? Pantas bau. Daaaahh, sampai ketemu besok, ya”.
Sintia
menutup pembicaraannya dengan Riri.
“Halo,
Sin”.
Hari
ini, Damar benar-benar menegur Sintia di sekolah. Ia tak menyangka ia bisa
seakrab itu dengan seorang Damar. Rasanya, sangat-sangat menyenangkan. Ia
membicarakan ini itu di sekolah, maupun di tempat latihan. Semakin sering juga
mereka bertemu. Semakin sering juga ia melakukan adegan-adegan romantik yang
sangat dekat.
Suatu
hari, Sinta menangis di sebuah taman. Rama datang dengan bahagia yang terkumpul
sangat dalam. Mereka berdua berpelukan, melepas semua rindu yang pernah ada.
Air mata terurai bebas, tanda mereka benar-benar bahagia. Rama dan Sinta
bertatapan, dengan senyuman tersungging di masing-masing pihak. Senyuman yang
tulus.
“Senang
Sekali aku bisa berpasangan denganmu”. Ujar Damar.
“Wah,
aku juga”. Sekarang, Sintia sudah terlihat tidak canggung lagi dengan Damar.
“Hei,
Sin”. Panggil Damar pelan. Kemudian mereka menghentikan langkah di pendopo,
taman Pak Sudjarwo. Hari itu latian baru saja selesai. Damar menatap lekat
Sintia. Jantung Sintia berdegup tak
karuan. Damar menyadari wajah anggun yang ayu dari perempuan di
depannya. Senyumnya tersungging, “hati-hati kalau pulang”.
Aaaaaah.
Sintia benar-benar sudah terbang. Ia hamir kehilangan kembali. Rasanya, tak
ingin ia beranjak pulang hari itu. Perlahan, Damar menggenggam tangannya. Perlahan,
menyusuri jalan setapak bersama dengan bergandengan tangan tanpa sadar.
***
Sintia
sudah ada di ruang rias. Lengkap dengan polesan make-up dan kostum tari yang anggun. Ia terlihat sangat cantik dan
berbeda malam itu.
Teater
Sriwedari, Solo sudah penuh dengan pengunjung. Mobil atau motor sudah terparkir
penuh di parkiran. Semua sibuk membereskan pakaian mereka yang sedikit kusut.
Di tempat lain, seorang Rama sedang sibuk menatap dirinya di depan cermin.
Sungguh gagahnya laki-laki itu malam ini.
Ibu
Sintia, ayah Sintia dan Riri telah duduk di bangku penonton dengan pakaian yang
sangat rapi malam itu. Semua terlihat formal dan cantik. Keren sekali. Para
pemain berkumpul di belakang. Hampir tak berkedip Sintia melihat Damar.
Sungguh, betapa tampannya pria itu malam ini. Gagah sekali.
Begitupun
Damar, hampir tak berkedip melihat pasangan bermainnya. Sintia telihat sangat
cantik dan anggun sekali.
Pementasan
pun di mulai, putri cantik bagaikan dari kahyangan muncul dengan gemulai dari
belakang panggung. Dewi Sinta tersenyum anggun sambil menggerakan tubuhnya yang
benar-benar lentur. Membuat semua orang terpukau. Prabu Janaka menyusul, ia
mengatakan akan mengadakan sayembara untuk dapat menikahi putri kesayangannya
itu. Seorang Raden Rama Wijaya pun masuk ke panggung, laki-laki tampan itu
ternyata berhasil memenangkan sayembara. Mereka hidup bahagia sampai pada
akhirnya, Rahmana menculik sang Dewi Sinta dan menyembunyikannya di kerjaan
Alengka.
Rama pun
terlihat sangat sedih. Para Hanoman yang biasanya terlihat ceria, juga ikut
sedih melihat pangerannya teruduk lesu. Raden Rama pun tak tahan, ia
memerintahkan para hanoman untuk mencari Sinta ke kerajaan Alengka. Tak
menyangka para hanoman pun menemukannya. Akan tetapi, Rahmana membakar para
hanoman, terutama yang berwarna putih.
Api
bergerak-gerak di mana-mana. Tetapi, ternyata api itu tidak berhasil
membakarnya. Hanoman berhasil lolos dan pulang untuk melapor diri pada sang
Rama. Sang Rama marah, ia pun mengumpulkan pasukan, mendatangi kerjaan Alengka
dengan kasar. Menciptakan pertarungan, sengit dan menyeramkan. Sampai pada
akhirnya, Rahmana terbunuh. Dengan cepat, Rama memasuki istana Alengka dan
melihat isterinya yang menangis. Mereka berdua bertatapan, dengan linangan air
mata tanda bahagia. Keduanya berpelukan, melepaskan kerinduan.
Kini,
untuk memeluk dan menatap laki-laki di depannya, Sintia tak perlu
sembunyi-sembunyi. Impiannya, tanpa disengaja pun terwujud. Seorang Damar yang
telah lama dipujanya, kini berada dipelukannya. Memeluknya dengan erat,
menatapnya dengan tatapan tulus dengan senyum yang ia dambakan. Dari tempat
duduk penonton, Riri melihat keduanya dengan sangat bahagia. Ia tahu,
sahabatnya sedang menikmati kebahagiannya sekarang.
Rama
dan Sinta, hidup bahagia selama-lamanya. Penonton berdiri, memberikan tepuk
tangan yang sangat meriah. Sintia tersenyum kepada semua orang yang menatapnya.
Rama pun begitu. Mereka berdua saling bertatapan. Dengan penuh arti dan
ketulusan. Takdir memang menentukan mereka harus bersama. Rama dan Sinta, untuk
selamanya.
***
BK: 031012
0 komentar:
Posting Komentar