THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 11 Maret 2020

?

Biar waktu tak sebanding dulu
Cerita menyertai tanda tanya
Lembar baru lama-lama terlukis penuh
Saat ini sudahlah tahu

Tangan-tangan terakit lambat-lambat
Semakin mengenal semakin menukar kehidupan
Yakinkah aku? Yakinkah dia?
Mengapa kutuliskan pertanyaan?

Sebelum waktu semua terjadi
Hanya aku tahu ada nada menyapa
Ternyata ku memijak hal yang sama
Baiklah ayo kita berangkat

Batu besar, kecil menunggu
Akar melilit, lubang mengembang
Deras air kulihat nun jauh di sana
Menghuyung kita mau ke mana

Akankah ini semua kan sirna?
Segala ragu dalam perjalanan kita
Wajarkah tanda tanya menjelma
Ataukah sebuah pertanda

Minggu, 04 Juni 2017

Kisah Kecil tentang Pengalaman Anak Muda

Hari yang telah ku lupa tepat tanggal berapa memberikan sebuah kenangan yang sesungguhnya sulit untuk dilupa. Aku sangat bersyukur telah mengalami hari itu, hal baru yang bermanfaat untuk hidupku. Aku menghadiri sebuah acara sosial yang diselenggarakan oleh sebuah komunitas yang bernama, ‘Narasastra’. Mendadak aku diajak, oleh para senior yaitu kak Citra, kak Ega dan kak Yudiish. Oke, beginilah kisahnya.

Siang hari yang panas aku bersama pacar pergi ke Depok. Kindly and sweetly, dia mengantarkan aku dan menungguku berangkat kala itu. Waktu menunjukan sekitar sebelum Dzuhur, kak Citra menaiki motornya menjemputku di jalan Margonda (padahal aku sudah menunggunya di stasiun UI:P) (tanda kurung ini buat bercanda aja ya Kak hehehe). Dengan mengandalkan pengetahuanku membaca peta online, kami berangkat menuju lokasi. Yaitu, Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Ciracas, Jakarta Timur. Macet, cukup macet, panas, cukup panas pula. Sampailah kami di sebuah lokasi yang meragukan kak Citra yang pernah melakukan survey ke tempat itu, Sasana Tresna Werdha. Kami melihat peta online ku lagi. “Kayaknya salah deh.”. Research. Itulah yang selanjutnya kami lakukan. Ternyata, benar. Kami salah, bukan hanya kayaknya. Kemudian kak Citra memintaku untuk ngadu ke kak Yudish, bahwa kami nyasar. Akhirnya berputar balik, dan mengandalkan pengetahuan membaca peta onlineku sekali lagi.

Alhamdulillah, tempat yang familiar untuk kak Citra terpampang juga di depan kami. Kami pun parkir disambut keramahan satpam-satpam di sana. Tapi, suasa masih sepi. Di sana, ada kak Fina dan kak Olga. Kami bersalaman, dan aku berkenalan. Setelah itu, sekumpulan orang yang tak aku kenal juga datang. Lalu berkenalan lagi. Semakin lama, semakin banyak orang yang datang, semakin banyak pula aku berkenalan. Tak lama, kami melakukan makan yang disusul briefing. Kak Tebo dari Narasastra dengan ramah membagikan makanan, lalu memintaku membagikan air mineral. Ketika briefing, kami berkenalan lagi. Sayangnya kak Indras dan kak Yudish yang tadi kami adukan bahwa kami nyasar, belum sampai juga. Tak apa, meski belum melakukan kegiatan yang sesungguhnya, aku sudah merasa beruntung berada di sini. Sampailah kami pada waktu kami akan masuk ke dalam sebuah ‘Panti Jompo’.

Excited. Begitulah perasaanku tertulis dalam bahasa Inggris. Ketika masuk ke dalam wilayah itu, kamar-kamar opa dan oma tidak langsung terlihat. Tapi terdengar suara, “untuk kakek dan nenek, dimohon menuju ke aula. Karena akan ada acara.” Kurang lebih seperti itu. Aku sudah tak sabar melihatnya. Namun, juga tak butuh waktu lama untuk menunggu. Di sepanjang sebelah kananku, terdapat gedung yang terpisah-pisah, di dalamnya terdapat begitu banyak kamar. Para lansia duduk di teras kamar-kamarnya, menyambut kami dengan senyum dan ramahnya.

Sampailah kami di sebuah ruangan serba guna. Begitu banyak oma dan opa yang berdatangan, hampir semua tertatih-tatih jalannya. Aku canggung, baru pertama kali aku melihat banyak sekali lansia bersamaan seperti ini, tapi tak mungkin lepas tangan. Aku mencoba membantu, tapi sangat kaku. Bingung harus bicara apa, harus bersikap seperti apa. Ya seadanya saja, “halo Oma.” Sampai di dalam, oma dan opa yang telah renta menggeser-geser kursi. Mereka kuat sekali. Aku tak langsung membantu, bingung. Namun akhirnya hasrat membantu datang juga. Namun apa daya, malah dimarahi oma. Sebenarnya bukan aku sih yang dimarahi, namun melihat ada yang dimarahi aku jadi berhati-hati. Hehe lucu ya. Seorang opa berkursi roda tiba-tiba keluar dan tidak mau masuk lagi. Alasannya, baper problem’. Para volunteer mencoba membujuk sang opa, dibantu kak Citra. Akhirnya, opa itu mau masuk, namun di sisi bagian oma-oma. Oh ya, sebelum semua opa dan oma berkumpul, aku duduk di tengah-tengah mereka. Aku mencoba berkenalan dan menyapa. Seorang opa berada di bagian oma-oma, aku bertanya mengapa beliau tidak maju saja, agar duduk di depan. Namun seorang oma di sebelah kananku seketika memarahinya, “cowok bagian sana!”. Aku terkejut, lalu perlahan permisi dari sana.

Masalah duduk dan kursi selesai. Acara dimulai. Kak Akbar dan Kak Desi selaku MC, membawa acara dengan fun. Tak ku sangka, opa dan oma fun juga. Kak Indras dan kak Yudish akhirnya datang. Ternyata mereka juga nyasar ke tempat yang sama. Hahahaha. Acaranya menarik. Namun lucunya, beberapa opa dan oma selain terbawa fun, juga ada yang, “cepetan dong”, “lama nih”, “ngantuk”, komentarnya. Gemas. Beberapa volunteer membacakan puisi dan pantun di depan oma dan opa, lalu ada pembacaan surat dari orang-orang jauh untuk sepuluh oma dan opa yang telah terpilih, kemudian ada pula penampilan dari oma dan opa. Ada yang menyanyi, ada yang membacakan pantun. Lucu sekali. Di penghujung acara, akhirnya Sasina tampil, yaitu kelompok musikalisasi puisi Sastra Indonesia UI. Alhamdulillah, rangkaian acara selesai. Setelah acara, kami membagikan kenang-kenangan untuk sepuluh oma dan opa yang dikirimi surat. Mereka sangat senang, berucap terima kasih banyak. Ternyata masih ada yang peduli mereka, katanya. :”)

Seorang oma tidak bisa hadir, akhirnya kami mencari kamarnya dan memberikan kenang-kenangan di sana. Menjelang Maghrib waktu itu, aku ikut masuk ke dalam gedung berisi banyak kamar itu, betapa beruntungnya aku bisa melihat isi keadaan panti jompo seperti apa. Mereka hidup bersama, di tempat yang sederhana. Begitu banyak karakter yang berbeda dari oma dan opa, alias tak banyak pula yang suka menyendiri dan tidak murah senyum. Namun jauh lebih banyak yang terlihat senyum dan suka menyapa. Aku menduga, pasti telah terjadi banyak drama di sini. Tanpa alasan, ingatan kecil ini mengingatkanku pada sebuah acara TV favoritku saat ini, "Asia's Next Top Model". Semoga mereka bahagia di sana.

Waktu kami pulang, kami berjalan di depan kamar-kamar mereka. Sama ketika kami datang dan disambut. Ketika pulang, mereka tetap ramah, tersenyum, dan berpesan, “kapan-kapan ke sini lagi yaaa :)”. Banyak hal lucu yang telah terjadi hari itu, bahkan ketika pulang pun kami masih saja bertemu dengan seorang opa yang tiba-tiba menyuruh kami mengambilkan obat. Ah, betapa menyenangkan bisa mengalami hari di tempat ini. Sungguh, aku merasa beruntung! Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih, Narasastra.









Jumat, 02 Juni 2017

Bantu Aku Memberi Judul

Semakin dewasa semakin aku merasa, bahwa aku bukan pemilik hati penulis sejati. Seandainya jiwa mengarangku lebih terasah, mungkin aku sudah merajalela kemana-mana. Dari kecil sudah mulai ku pijakan pena di atas kertas buku tulis. Tulisanku sudah terbaca dan dipuji siapa saja. Namun, “pujian merupakan ancaman” baru aku terima ketika aku dewasa.


-Tulisan kecil di tengah bulan puasa siang hari. Adab, Tia. 2017

Jumat, 06 Desember 2013

It's Me Again^^

Hello Ladies and Gentleman! Udah lama banget yaampun ini blog ngga keurus, untung ngga jamuran. Dari sebelum aku punya pacar sampe sekarang udah putus sama pacar dan aku pacaran 14 bulan! Duhhh ngga keitung deeh lamanya.

Tadi abis baca tulisan pertamaku yg perkenalan-perkenalan itu di sini. Yaampun, agak weird, ngga sih?:/ itu siapasih?:/ Astagfirullah... Banyak typo tingkat parahnya lagi, duuuh.

Oke ceman-ceman. Setelah aku fikirkan lagi dan pemikiran itu berasal dari patah hati. Hm. Aku akan membuat blog ini seperti buku DIARY! Yeyyy, nyambung kan?? Ini adalah sebuah blog, jadi ngga mungkin banget ngga aku bolehin orang liat. Tapi, aku berniat untuk nggak ngeshare blog ini kecuali ada yg bermanfaat untuk masyarakat dunia. Well, mungkin ada di antara kalian yg ngerasa kesel, "ngapain lo buat blog!". Hahahaha. Iya jadi, aku sekarang lagi di masa-masa rapuh gitu, hft. Nggak sih, biasa aja. Cuma aku merasa aja kalo akhir2 ini numpuk masalah :( jadi, aku ingin menumpahkan semuanya ke dalam tulisan. Itulah alasannya, semoga kalian terima ya :-)

Jadi intinya, aku di sini hanya ingin menumpahkan semua yang ada di dalam diri aku, tanpa aku pamer ke kalian, kecuali kalo kalian yang berkunjung sendiri :P Okedeh, cukup ya untuk tulisan ketiga ini. Mohon maaf atas SHORT STORY sebelum post ini. Aku masih belum sempurna dalam berucap dan berkata, apalagi ngetik :P BYE!

Salam Sayang,



@ tiadab



:P

Senin, 13 Mei 2013

SHORT STORY by ME


Sosok  Singkat 

          Pagi  yang  cerah,  sungguh  mengawali  hari  Oliv  pada  Senin  itu.  Tepat  pukul  enam  kurang  lima  belas  menit,  ia  ke  luar  rumah  dan  menutup  pagarnya. 
          ”Assalamualaikum.  Oliv  berangkat!”.  Pamitnya  riang.
          “Waalaikumsalam.  Hati-hati,  Liv”.  Terdengar  suara  ibunya  dari  dalam. 
          Hari  Senin  yang  biasa.  Harus  bangun  lebih  pagi,  harus  memperhatikan  seragam  benar-benar  teliti  dan  semua  harus  bersih  dan  rapi.  Ya,  memang.  Oliv  memang  bersekolah  di  sekolah  swasa.  Tapi,  sekolah  Oliv  bukanlah  sekolah  swasta  yang  dapat  menentukan  tata  tertib  sendiri.  Sekolahnya  tetap  melaksanakan  Upacara  tiap  Senin  pagi.  Maka  itu,  ia  benar-benar  harus  memperhatikan  tata  tertib  sekolahnya  yang  sudah  berlaku  sejak  bertahun-tahun  lalu  itu. 
          Dengan  riang,  ia  berjalan  melewati  gang  kecil  dari  rumahnya,  menunggu  bis  dengan  bosan  di  halte  dan  ia  baru  mendapat  bis  yang  memiliki  lahan  untuk  dirinya  setelah  dua  puluh  menit  berlalu.  Ia  turun  di  halte  selanjutnya  dan  berniat  untuk  naik  bis  lain.  Betapa  kagetnya  bahwa  jalanan  di  depannya  sungguh  ramai  dengan  anak  laki-laki  seusianya,  mengenakan  putih  biru  dan  terlihat  emosi.  Jantung  Oliv  tiba-tiba  berdetak  kencang,  ia  benar-benar  panik.  Tak  ada  seorang  pun  yang  ia  kenal.  Ia  bingung  bercampur  takut.  Rasanya,  ia  berada  di  suatu  sisi  antara  hidup  dan  mati,  tanpa  pilihan  untuk  berlari  sekalipun.  Tiba-tiba  dari  arah  depan,  melayang  sebuah  batu  yang  berukuran  cukup  besar  ke  arahnya.  Matanya  terbelalak,  ia  tak  bisa  berbuat  apa-apa.  Seketika  ia  pasrah,  ia  menjerit  dalam  hati.  Ia  pejamkan  matanya,  berserah  diri  dengan  apa  yang  akan  terjadi  setelahnya.  Tiba-tiba  seseorang  menarik  lengannya,  batu  itu  mendarat  pecah  di  jalanan  beraspal.  Oliv  terjongkok  di  balik  tembok.  Ia  masih  belum  tahu  apa  dia  akan  selamat  setelah  ia  buka  matanya. 
          “Eh,  eh!  Kamu  nggak  papa?”.  Seseorang  memanggilnya.  Tak  jelas  apa  tujuannya.  Tidak  terdengar  panik,  tidak  juga  terdengar  cuek. 
          Perlahan  ia  buka  matanya.  Ia  kaget  saat  itu  juga.  Seorang  laki-laki  bertubuh  tinggi,  berkulit  coklat  Indonesia,  tubuhnya  dipenuhi  peluh  dan  ada  sedikit  luka  dibagian  pipinya.  Oliv  pasrah  untuk  yang  kedua  kalinya. 
          “Eh,  jawab,  dong!  Kok  diem  aja,  sih?”.  Kata  laki-laki  itu  lagi.
          Oliv  benar-benar  bingung  sekarang.  Ia  melihat  ke  bagian  kiri  seragam  laki-laki  itu.  Bertuliskan,  Alif  Praditya.  Oliv  yakin,  itu  adalah  namanya.  Oliv  memandang  sekeliling,  dengan  hati-hati  ia  memandang  laki-laki  itu,  agak  bergeser  sedikit,  sadar  karena  laki-laki  itu  tidak  bereaksi,  Oliv  langsung  berlari  ke  arah  kanan  yang  benar-benar  kosong  itu.  Oliv  tetap  berlari  dan  terus  berlari.  Ia  merasa  aman  sekarang.  Oliv  mengatur  nafasnya  dan  menatap  jam  yang  ada  di  tangannya.  Matanya  terbuka  lebar,  pukul  delapan!!!!  Ah,  Oliv  sudah  berlari  terlalu  jauh.  Akhirnya  Oliv  memutuskan  untuk  pulang  ke  rumahnya. 
          “Lif,  kenapa  daritadi  mukamu  ditekuk  begitu?”.  Tanya  Arbi  keesokan  harinya  saat  gengnya  sedang  berkumpul  di  samping  sekolah. 
          “Iya,  dari  kemaren,  loh”.  Ari  menyetujui  Arbi. 
          “Ceritalah.  Pasti  lagi  ada  masalah.  Nggak  mungkin  kamu  kesal,  tawuran  kemarin  kan  kita  menang”.  Prio  ikut-ikut  menyahut. 
          Alif  memandang  teman-temannya.  Mereka  belum  lama  kenal,  tetapi  mereka  sangat  peka  terhadap  sesamanya.  Sahabat-sahabatnya  itu  memang  orang  yang  peduli.  Alif  jadi  salah  tingkah. 
          “Mmmm,  kemarin”.  Akhirnya  Alif  buka  mulut  juga.  Teman-temannya  makin  penasaran.  Semua  perhatian  teman-temannya  menuju  pada  Alif  dengan  ekspresi  yang  sama.  Penasaran. 
          “Di  tengah  keributan,  aku  bertemu  seorang  perempuan.  Hampir  saja  dia  tertimpuk  batu.  Tapi,  ia  benar-benar  tak  tahu  diri”.  Alif  memandang  sahabat-sahabatnya  satu  persatu,  “waktu  aku  tanya  apa  dia  baik-baik  saja,  ia  malah  lari.  Tidak  menjawab.  Bayangkan?  Arrggggh!”.  Seketika    Alif  terlihat  kesal  lagi. 
          Sahabat-sahabatnya  itu  saling  pandang,  tak  lama  bunyi  siulan  pelan  terdengar  dari  salah  seorang  sahabatnya.  Alif  tidak  menghiraukan,  ia  masih  tetap  terlihat  kesal.
          “Hai,  sobat.  Jadi  cintamu  berawal  dari  sebuah  tawuran?”.  Ari  mendekati  Alif. 
          Alif  menoleh  kaget,  memandangnya  sahabatnya  heran,  “hah?  Kau  gila!  Aku  kesal  dengan  gadis  itu.  Cinta?  Hahaha,  jauh,  ya”. 
          “Heh,  apa  kau  tak  ingat  benci  jadi  cinta?”.  Prio  ikut  meledek. 
          “Kalau  aku  percaya  percaya  saja.  Seruuuu”.  Sambung  Arbi  diikuti  suara  tertawa  teman-teman  yang  lainnya.
          Suara  bel  masuk  memotong  pertemuan  geng  nakal  itu.  Dengan  terpaksa,  mereka  masuk  ke  kelas  masing-masing. 

BRUK!!!
          “Hei!  Yang  benar  dong  kalau  jalan!”.  Alif  marah-marah  sambil  terduduk  di  lantai.  Ia  tahu  badannya  telah  bertabrakan  dengan  seseorang.  Dengan  mata  berkerut,  dipandangnya  orang  yang  telah  bertabrakan  dengannya  itu.  Kerutannnya  semakin  naik. 
          “Kau?”.  Kata  Alif  heran.  Nirana  menganga.  Alif  berdiri  dengan  tergesa.  “Bisa  nggak  kalau  sopan  sedikit?”. 
          Nirana  tidak  menjawab.  Ia  masih  menganga  heran. 
          Alif  melotot,  “hei!  Apakah  sekolah  ini  menerima  anak  yang  bisu  dan  tuli,  hah?”.
          Nirana  yang  tadi  menganga  langsung  mengatupkan  mulutnya  dan  terbuka  lagi  dengan  sorot  yang  berbeda,  “apa?  Apa  maksudmu?  Hei!  Dengar,  ya.  Aku  normal!  Bisa-bisanya  kamu  mengataiku  seperti  itu.  Kau  pikir  kamu  siapa?”. 
          “Aku  siswa  lama  di  sini.  Tak  pernah  aku  lihat  batang  hidungmu  sebelumnya.  Yang  aku  tahu,  kamu  adalah  seorang  siswi  SMP  Bangsa  yang  tak  tahu  sopan  santun  dan  terima  kasih.  Ya,  aku  tahu  itu!”.
          “Apa  maumu  bilang  begitu,  hah?”.  Nirana  menurunkan  volumenya,  “oooooh,  kamu  anak  brandal  yang  suka  tawuran  itu,  ya?  Apa  kau  fikir  kamu  tau  sopan  santun?  Apa  kau  fikir  kamu  punya  kepribadian  yang  patut  dicontoh?”. 
          Alif  melotot,  hamper  saja  tangannya  menampar  gadis  mungil  di  depannya  itu.  Tanpa  basa-basi,  ia  meninggalkan  perempuan  itu  dengan  emosi  level  tinggi. 
          Nirana  memandang  heran  dengannya.  Kecewa,  bingung,  rasa  bersalah,  takut,  sebal  dan  segalanya  bercampur  jadi  satu  ekspresi  yang  tak  tertebak.
          Pulang  sekolah,  Nirana  membantu  pamannya  melayani  pelanggan  bakso  yang  memenuhi  kios  pamannya  itu.  Nirana  terlihat  lebih  segar  dan  lebih  rapih.  Senyumnya  yang  khas  dengan  lesung  pipi  itu  menggambarkan  sikap  ramah  dalam  dirinya. 
          Alif  mematikan  mesin  motornya.  Melipat  jaketnya  dan  masuk  ke  dalam  kios  bakso  dengan  perut  yang  lapar.  Begitu  kagetnya,  setelah  mendapati  seorang  perempuan  yang  ada  di  depannya  sangatlah  ia  kenal. 
          Cewek  itu!  Batinnya. 
          “Misi,  pak.  Saya  pesan  bakso  satu  mangkok,  campur”.  Pesan  Alif  dengan  jutek  dan  langsung  duduk  di  bagian  pojok  samping. 
          “Eh,  Alif.  Duduk,  nak.  Nih,  bapak  akan  siapkan  makan  siangmu  hari  ini”.  Paman  Nirana  terlihat  sangat  akrab  dengan  Alif. 
          Nirana  benar-benar  kaget  saat  benar-benar  sadar,  ada  seorang  laki-laki  aneh  yang  makan  di  kios  pamannya  itu. 
          “Rana,  tolong  bawakan  ini  pada  pelanggan  itu,  ya.  Dia  satu  sekolah  denganmu,  loh”.  Nirana  kaget.  Pamannya  benar-benar  dekat  dengan  Alif. 
          Dengan  terpaksa  dan  agak  sedikit  tegang,  ia  antarkan  semangkok  bakso  dan  segelas  es  teh  ke  meja  Alif. 
          “Nih”.  Dengan  juteknya,  Nirana  menaruh  pesanan  Alif  dengan  sedikit  kasar. 
          Alis  Alif  berkerut,  “apa  ada  pelayan  yang  jutek,  gitu?  Mana  laku  dangangannya”. 
          “Cerewet!  Makan  saja,  nggak  usah  banyak  omong”. 
          “Loh,  kok  gitu?  Kamu  memang  benar-benar  tidak  tahu  sopan  santun.  Padahal  pak  Armin  sangat  ramah”.
          Nirana  terbelalak.  Seberapa  jauh  laki-laki  itu  tahu  tentang  pamannya?
          “Silahkan.  Dimakan”.  Kata  Nirana  seratus  persen  jutek  dan  langsung  berlalu  pergi.  Alif  geleng-geleng  kepala  dan  langsung  memulai  makan  siangnya. 
--------------------------------
          Nirana  cepat-cepat  menyebrang  menuju  sekolahnya.  Begitu  kagetnya  setelah  ia  melihat  pagarnya  telat  tertutup  rapat. 
          Tidaaaaak!!!!!!!    Batinnya  berteriak.
          Hari  ini  ia  terlambat  ke  sekolah.  Oh,  betapa  sialnya  hanya  ada  dirinya  di  tempat  itu.  Dengan  lunglai,  ia  duduk  di  bawah,  menunggu  toleransi  dari  sekolah.  Datang  seorang  laki-laki  dengan  paniknya  dan  terlihat  tampangnya  yang  sangat  lelah  itu. 
          “Oh,  tidak!  Sial!”.  Umpat  laki-laki  itu. 
          Betapa  kagetnya,  Alif  memandang  perempuan  yang  ada  di  bawahnya.  Memandangnya  dengan  mata  terbuka  lebar. 
          “Kau  lagi!”.  Ucap  mereka  berbarengan. 
          “Ah!  Sedang  apa  kau?”.  Tanya  Alif  sewot. 
          “Kau  yang  sedang  apa?  Ah,tak  sudi  aku  menunggu  pagar  ini  terbuka  hanya  denganmu  di  sini”.  Kata  Nirana. 
          “Apalagi  aku”.  Ucap  Alif  santai  dan  duduk  di  depan  Nirana.  Jaraknya  agak  jauh. 
          Suasana  terlambat  itu,  mendadak  canggung.  Mereka  berdua  sibuk  dengan  handphone  nya  masing-masing.  Tak  ada  yang  mereka  perbuat  dengan  hapenya  itu.  Hanya  untuk  mengisi  detik-detik  kekosongan  yang  menyiksa  itu  saja. 
          Nirana  menyerah. 
          “Kemarin  itu  kios  pamanku”.  Nirana  membuka  mulut. 
Alif  sedikit  kaget,  canggung,  dengan  pelan  ia  menatap  Nirana  heran,  “kamu  bicara  denganku?”.
“Kamu  kira  aku  gila?  Ya  jelas  aku  bicara  denganmu.  Dasar  cowok  aneh!”.  Kata  Nirana  sewot. 
“Ck,  aku  kira  kamu  ngomong  dengan  tembok”.
Nirana  terbelalak,  tapi  ia  berusaha  mengontrol  emosinya. 
“Oke,  aku  Nirana”.  Ucapnya  dengan  agak  terpaksa. 
Alif  memandangi  Nirana  dari  bawah  sampai  atas,  “Alif”.  Jawabnya  singkat.
“Sudah  tahu”. 
“Sudah  tahu?”.
“Ya,  aku  tahu  namamu”.
Alif  jadi  bingung. 
“Maaf.  Waktu  tawuran  waktu  itu”.  Nirana  benar-benar  terlihat  berbeda  pada  Alif.  Ia  tidak  emosi  saat  itu,  “terima  kasih  sudah  menolongku”. 
Alif  menatap  Nirana  dengan  sedikit  canggung  dan  agak  heran.  Tapi  ia  lega,  perempuan  di  depannya  itu  mengakui  kesalahannya  juga.  “Mmmm,  tidak  masalah”.
“Kalau  tidak  ada  kamu,  mungkin  aku  tidak  akan  sekolah  hari  ini.  Tidak  akan  bantu  paman  lagi.  Tidak  akan  duduk  di  depanmu  seperti  ini”.
Sejenak  keduanya  tertawa  kecil. 
“Pak  Armin  pamanmu?”.  Tanya  Alif  tanpa  ada  rasa  canggung  dan  emosi  lagi. 
Nirana  mengangguk  manis,  “ya,  aku  tinggal  dengannya.  Aku  siswi  beasiswa  di  sini”. 
Alif  memandang  Nirana.  Ya,  Nirana  lebih  sederhana  daripada  teman-teman  perempuannya  yang  lain. 
“Aku  langganan  makan  bakso  di  tempat  pamanmu.  Teman-temanku  juga”.  Cerita  Alif.
“Aku  kaget  kamu  datang  ke  kios  dengan  enjoy”.
“Aku  kaget  ada  pelayan  di  sana.  Dan  itu  kamu”. 
Keduanya  tertawa  lagi.  Tiba-tiba  pak  Min,  satpam  sekolah  membuka  pintu  pagar.  Refleks,  Nirana  dan  Alif  berdiri  dari  duduknya. 
“Kalian  diperbolehkan  masuk”. 
Nirana  dan  Alif  sangat  lega.  Belum  ada  banyak  waktu  untuk  bercerita,  takdir  malah  memotongnya.  Mungkin  sudah  direncanakan  untuk  waktu  lain  mereka  berbincang. 
--------------------------
          Seperti  biasa,  sepulang  sekolah  Nirana  membantu  pamannya  di  kios.  Ia  memang  belum  lama  membantu  pamannya,  tetapi  ia  sudah  telaten  melayani  para  pelanggan  yang  banyak  permintaan. 
          Tapi,  siang  ini    suasana  begitu  berbeda.  Nirana  lebih  bersemangat  daripada  biasanya. 
          “Silahkan,  pak.  Mau  pesan  apa?”.  Kata  Alif  pada  seorang  pelanggan.  Nirana  memandang  Alif  yang  sedang  ramah  melayani  pelanggan. 
          Siang  ini,  Alif  berjanji  untuk  membantu  Nirana  dan  pak  Armin  di  kiosnya.  Pastilah  itu  membuat  Nirana  sangat  senang. 
          Nirana  tersenyum  pada  Alif  saat  mereka  tak  sengaja  berpandangan.  Alif  terlihat  sedikit  malu.  Nirana  langsung  tertunduk  dan  menatap  asal  sekeliling.  Muka  mereka  sama-sama  semerah  tomat.  Pak  Armin  yang  melihat  kejadian  itu  hanya  senyum-senyum  tanpa  jelas.
          Alif  terlihat  sangat  menikmati  apa  yang  ia  lakukan  saat  itu.  Nirana  yang  lebih  terbiasa  terlihat  lebih  bersemangat.  Lalu  mereka  berdua  istirahat  di  salah  satu  bangku  saat  kios  sepi. 
          “Huh”.  Kata  Alif  sambil  duduk  dan  mengelap  keringatnya. 
          “Mau  aku  ambilkan  minum?”.  Nirina  menawarkan. 
          “Mmmm,  boleh  deh”.  Terima  Alif  tersenyum. 
          “Mau  minum  apa?”.
          “Apa  aja  boleh  kok”. 
          Nirina  bangkit  dan  kembali  lagi  sambil  membawa  dua  botol  aqua  dingin  dari  lemari  pendingin. 
          “Capek,  nggak”.  Tanya  Nirina  sambil  duduk  di  samping  Alif.
          “Lumayan”.  Kata  Alif  tersenyum  setelah  menelan  tegukan  terakhirnya. 
          “Duh,  sampai  habis  begitu  airnya”. 
          “Artinya  capekku  ngga  bohong,  dong”.    
          Mereka  sama-sama  tersenyum. 
          “Kalau  ramai  begini,  asik  ya”.  Alif  memulai  pembicaraan  lagi  dengan  lebih  santai. 
          “Pasti.  Paman  juga  lebih  senang  dan  semangat”.  Jawab  Nirina  sambil  menyunggingkan  senyumnya  yang  manis  itu. 
          Alif  menatap  perempuan  di  depannya.  Garis  wajah  Nirina  jadi  lebih  jelas.  Hidungnya  yang  sedikit  maju  itu  jadi  jelas,  bibirnya  yang  tipis  kecil  juga  lebih  jelas,  mata  coklatnya  dan  alis  mata  yang  rapih  juga  begitu  jelas.  Nirina  salah  tingkah.  Alif  tersadar  dan  ikut  salah  tingkah. 
          “Mmmm,  aku  cuci  piring  dulu  ya”.  Pamit  Nirina  mengakhiri  tingkah  aneh  mereka  berdua. 
          Belum  lama  Nirina  pergi,  segerombolan  anak  laki-laki  pun  datang.  Alif  menatap  gerombolan  itu  dan  tersadar  bahwa  itu  sahabat-sahabatnya.  Lalu  ia  membetulkan  posisi  duduknya. 
          “Loh,  Lif!  Kau  di  sini?”.  Tanya  Bruno. 
          “Ngapain?”.  Sambung  Ari.        
          “Nggak.  Nggak  melakukan  apa-apa.  Hehehe”.  Jawab  Alif  salah  tingkat. 
          “Tadi  tuh,  si  Alif  bantu  bapak  dan  keponakan  bapak  melayani  para  pelanggan.  Si  Alif  tuh,  ternyata  ada  bakat  jadi  pelayan  juga,  loh.  Dia  ramah  dan  sabar”.  Sela  pak  Armin  dengan  logat  Jawanya. 
          Teman-teman  Alif  kaget.  Alif  jadi  malu  sendiri. 
          “Ah,  serius  nih?  Wah,  asik  dong”. 
          “Iya,  iya.  Keponakan  bapak  yang  mana?”.      
          “Kok  nggak  bilang-bilang  sih,  Lif?”. 
          Banyak  komentar  yang  terlontar  dari  sahabat-sahabatnya.  Alif  jadi  bingung  ingin  jawab  apa.  Dan  ia  memilih  untuk  diam  saja.  Tak  lama,  Nirina  muncul  dengan  anggunnya.  Spontan,  semua  anak  laki-laki  bandel  itu  memandang  ke  arah  Nirina. 
          “Wah,  itu  adik  kelas  kita,  kan?”.  Sahut  Prio. 
          “Oh,  iya.  Jangan-jangan  itu  perempuan  yang  waktu  itu…”.  Alif  menginjak  kaki  Arbi.  Hampir  saja  ia  ketahuan  membicarakan  Nirina. 
          “Perkenalkan,  keponakan  bapak.  Ia  duduk  di  kelas  delapan  sekarang.  Kalian  kelas  sembilan,  bukan?  Jadi  adik  kelas  kalian  ini.  Namanya,  Nirina.  Kelihatan  sangat  akrab  dengan  Alif,  loh.  Masa  kalian  nggak  tau?”.  Pak  Armin  menjelaskan  panjang  lebar.  Alif  dan  Nirina  jadi  kikuk.  Semuanya  saling  berpandangan. 
          “Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah”. 
          Hampir  setiap  hari  Alif  membantu  di  kios  pak  Armin.  Nirina  dan  Alif  jadi  semakin  akrab  dan  semakin  dekat.  Alif  sudah  jarang  ikut  tawuran  lagi,  bahkan  tidak  pernah.
          Sampai  suatu  ketika,  “eh,  Lif.  Kamu  naksir  dengan  keponakan  pak  Armin  itu?”.  Tanya  Ari  saat  mereka  semua  berkumpul  di  kelas  Alif. 
          Belum  sempat  Alif  menjawab,  seorang  anak  kelas  delapan  menghampiri  Alif  dan  teman-temannya  dengan  ngos-ngosan. 
          “Eh,  eh,  eh!  Tenang!  Ada  apa,  sih?”.  Tanya  Ari  heran.          
          “Itu,  itu,  kak.  SMP  Abdi  Bangsa  menyerang  sekolah  kita.  Sekarang  mereka  lagi  tanding  di  jalan  Persimpangan.  Lagi  sengit-sengitnya  dan  sudah  banyak  korban  luka  dari  sekolah  kita,  kak.  Ini  benar-benar  parah,  kak”. 
          Alif  dan  gerombolannya  itu  saling  pandang  heran.  Dengan  muka  tak  enak,  Alif  terpaksa  mengangguk.  Untuk  pertama  kali  dari  peristirahatannya  tak  turun  ke  lapangan  untuk  beradu  kejantanan,  ia  bersama  para  sahabat-sahabatnya  itu  berlari  menuju  jalan  Persimpangan. 
          Sampai  tempat,  Arbi  mengambil  batu  yang  ada  di  sekitar  dan  langsung  melemparkan  ke  arah  lawan.  Batu-batu  melayang  di  atasnya.  Seseorang  memberikan  sebuah  celurit  pada  Alif.  Dengan  sigap,  Alif  menerimanya.  Tiba-tiba  bayangan  Nirina  terngiang  di  kepalanya.  Nirina,  gadis  manis  yang  mengubah  hidupnya.  Dan  ia  sungguh  menyesal  untuk  hari  ini  dan  berjanji  ini  untuk  yang  terakhir  kalinya. 
          Zlet!!
          Sebuah  baretan  dari  sebuah  pisau  mendarat  di  tangan  Alif.  Alif  yang  tidak  siap  itu  langsung  terjatuh  di  tanah.  Darah  ke  luar  dengan  bebasnya  dari  kulit  Alif  yang  terbelah  itu.  Alif  segera  bangkit  dan  melawan  laki-laki  bermotor  itu.  Ia  berlari  mengejar  dengan  cepat,  melawan,  menghindari  setiap  musuh  menyerang.  Ia  begitu  menyesali  apa  yang  sedang  dilakukannya  sekarang  ini. 
          Nirina,  ini  untuk  yang  terakhir  kalinya.  Katanya  dalam  hati. 
          Suara  sirine  mobil  polisi  terdengar  begitu  riuh.  Alif  tersentak  kaget.  Semua  kaget  dan  refleks  berlari  cepat.  Alif  yang  tiba-tiba  linglung,  ikut-ikut  berlari.  Tetapi  sayang,  kecepatannya  kurang  dan  membuat  dua  orang  polisi  berhasil  menangkap  laki-laki  yang  tangannya  penuh  darah  itu.  Alif  meringis,  mencoba  melepaskan,  tapi  tetap  tidak  bisa.  Ia  digeret  menuju  mobil  polisi,  tangannya  mulai  digandengkan  dan  diborgol.  Untuk  yang  pertama  kalinya,  besi  hina  itu  melingkar  di  tangannya.  Seketika  itu  juga,  ia  menunduk  pasrah. 
--------------------------
          Sudah  seminggu  Alif  tidak  masuk  sekolah.  Nirina  baru  sampai  di  sekolah,  ia  memandang  gerbang  kokoh  sekolahnya  itu.  Teringat  saat  ia  dan  Alif  baru  akrab.  Tanpa  sengaja,  Nirina  tersenyum  kecil.  Ia  berjalan  lagi,  mulai  memasuki  dan  melewati  gerbang  itu.  Ia  melewati  koridor  lantai  satu.  Terlihat  Alif  dan  seorang  pria  empat  puluhan  ke  luar  dari  ruang  kepala  sekolah  yang  ada  di  lantai  dua  itu.  Nirina  sudah  tahu  ceritanya.  Ia  memang  agak  kecewa  dengan  Alif,  tapi  bila  dihitung,  rasa  rindunya  lebih  banyak  daripada  rasa  kecewanya
Sore  itu,  Nirina  sedang  duduk-duduk  di  depan  teras  rumahnya.  Sebuah  sepeda  motor  dengan  pengendara  laki-laki  remaja  menepi  di  depan  rumahnya  yang  sederhana  itu.  Alif  melepas  helm  dan  jaketnya,  lalu  berjalan  ke  arah  Nirina. 
“Boleh  aku  duduk?”.  Tanya  Alif  dengan  tenang.  Sungguh  tenang. 
“Mmm,  silahkan”.  Nirina  jadi  lebih  canggung.         
“Apa  kabar,  Rin?”.  Tanya  Alif  lagi,  setelah  duduk  di  samping  Nirina. 
“B…  baik,  kok”. 
“Bagus,  deh”.  Alif  tersenyum. 
“Kamu  sendiri,  bagaimana?”.
Alif  mengangguk.
Lalu  keadaan  menjadi  hening.  Semua  kembali  seperti  semula.  Canggung.  Tidak  dengan  emosi,  canggung  dengan  perasaan  serba  salah.  
“Maaf”.  Alif  membuka  mulut  kemudian. 
Nirina  memandang  laki-laki  di  sebelahnya  dengan  heran,  “buat  apa?”.
“Maaf,  maaf  aku  mengecewakanmu”. 
Sejenak  Nirina  mengerti.  “Mmm,  nggak  masalah,  kok.  Aku  tahu  kamu  nggak  mudah  buat  langsung  berubah.  Itu  bertahap,  nggak  masalah.  Aku  tahu  itu”. 
Alif  terdiam. 
“Sebenarnya,  bukan  itu”.
Nirina  menatap  Alif  heran.  Ia  mengerenyitkan  dahi,  berharap  bingung  dengan  semua  ini. 
“Maafkan  aku  harus  pergi”.
Nirina  semakin  heran,  ia  memberikan  perhatiannya  penuh  pada  Alif. 
          “Gara-gara  aku  tawuran  kemarin.  Ayah…”.  Alif  menarik  nafas  dalam,  “nggak  ada  pilihan  lain,  Rin.  Ayah  memindahkanku  ke  Amrik”. 
          Seketika  itu,  Alif  langsung  menunduk.  Ia  tak  berani  menatap  Nirina.  Benar-benar  bingung,  sedih,  kecewa,  segalanya  tercampur.  Intinya,  ia  merasa  tidak  tenang  saat  itu.
          Nirina  menganga.  Bukan  karena  ledekan  Alif,  bukan  karena  cemohan  Alif,  tetapi,  perkataan  yang  ke  luar  dari  mulut  Alif.  Yang  menandakan  mereka  harus,  berpisah. 
          Sekali  lagi,  Nirina  tidak  dapat  berkata.  Ia  hanya  bisa  menganga  heran.  Matanya  mulai  basah,  tubuhnya  gemetar.  Tak  karuan  ia  rasakan.  Jantungnya  benar-benar  tak  kompak  saat  itu,  berdetak  tak  teratur.  Rasanya,  hatinya  seperti  teriris  dan  irisan  itu  menghasilkan  air  darah  yang  menyakitkan.  Perih.  Seperih  jatuh  tak  dapat  dibangkitkan. 
          “Maaf,  Nirina.  Aku  tahu  ini  salah  aku.  Aku  benar-benar  menyesal  melakukan  hal  sebodoh  ini.  Jujur,  aku  beruntung  bertemu  kamu.  Aku  bisa  menghentikan  kelakukan  bodohku  itu.  Meski  hanya..”.
          “Lif”.  Perkataan  Alif  terpotong.  Nirina  menduduk,  benar-benar  tak  berani  menatap  Alif.  Sekarang  ia  sudah  sesenggukan  tak  karuan. 
          Alif  memandang  Nirina  sejenak,  lalu  bangkit  dan  memeluk  gadis  itu.  Erat,  semakin  erat.  “Maafkan  aku,  Nirina.  Aku  janji  perang  itu  untuk  yang  terakhir  kalinya”.
          Nirina  membiarkan  badannya  dalam  pelukan  Alif.  Hangat.  Kehangatan  yang  benar-benar  mengiris  pedih.  Alif  membiarkan  air  mata  Nirina  tumpah  membasahi  bajunya.  Sungguh  pedih  sore  itu.  Gerimis  pun  muncul.  Mereka  benar-benar  tak  punya  pilihan. 
          Alif  melepaskan  pelukannya.  Lalu  menatap  gadis  manis  di  depannya  itu.  Mereka  hanya  saling  tatap.  Tak  usah  diucap,  mereka  tahu  apa  yang  mereka  berdua  saling  rasakan.  Tak  usah  diucap,  mereka  tahu  apa  yang  sedang  mereka  hubungkan.  Tak  usah  diucap,  mereka  tahu  apa  arti  tatapan  itu.  Tak  usah  diucap,  mereka  tahu  perasaan  apa  yang  terhubung  di  antara  mereka. 
          “Seandainya  kemarin  aku  nggak  membantu  mereka.  Pasti  nggak  akan  seperti  ini”.
          “Jangan  salahkan  kamu,  Lif.  Ini  takdir”. 
          Mereka  terdiam. 
          “Aku  berangkat  hari  ini”. 
          Nirina  memandang  Alif.  Diam,  tak  bersuara.  Ia  memandang  Alif  penuh  arti.  Alif  mengerti.  Hati  mereka  berbicara,  bukan  mulut,  bukan  suara.  Mereka  sedang  berkontak.  Kontak  lain,  kontak  yang  berbeda. 
          “Aku  nggak  bisa  antar  kamu  ke  bandara”.  Alif  memandang  Nirina  bingung,  “aku  nggak  sanggup,  Lif”.  Sekarang,  pipi  Nirina  sudah  basah  kuyup. 
          “Ada  apa  ini?”.  Pak  Armin  muncul  dari  balik  pintu. 
          Nirina  dan  Alif  memandang  pak  Armin.  Tiba-tiba,  Alif  memeluk  pak  Armin.  Pak  Armin  menatap  keponakannya  yang  sembap  itu  bingung.  Akhirnya,  dengan  berat  hati  pak  Armin  sudah  mengira.  Dan  ia  yakin  perkirannya  itu  benar. 
          “Sudah  saatnya,  Nirina,  pak”.  Kata  Alif  kemudian. 
          “Apa  ini  menjadi  yang  terakhir,  Lif?”.  Tanya  Nirina  tak  rela.  Alif  bingung  tak  menjawab.  Nirina  mendesah. 
          “Maaf”.  Hanya  kata-kata  itu  yang  dapat  ke  luar  dari  mulut  Alif. 
          Perlahan,  kakinya  melangkah  mundur,  menjauh,  benar-benar  menjauh.  Dengan  gemetar  ia  kenakan  jaket  dan  helmnya.  Membiarkan  penutup  kaca  helm  terbuka,  juga  membiarkan  Nirina  menatap  wajahnya.  Mungkin,  untuk  yang  terakhir  kalinya. 
          Dengan  berat,  Alif  menyalakan  mesin  motornya  dan  berlalu  pergi.  Nirina  benar-benar  seperti  tersambar  petir.  Pak  Armin  memeluk  keponakannya  itu  erat.  Sungguh  menyakitkan  perpisahan  itu.  Kisah  singkat  yang  begitu  berharga.  Sosok  singkat  Alif  yang  benar-benar  membuatnya  mengerti  dan  mengenal.  Apa  itu,  cinta. 

-THE  END-

SHORT STORY by ME


Ramayana Pujaan
Oleh: Tia Adab

                Kutatap benar-benar lurus ke depan. Kubayangkan aku melayang, menjauh sampai aku ada di negeri yang begitu indah. Aku di sana bersamanya, menari-nari bersama, merangkai bunga jadi mahkota, menatap langit yang berhias penuh bintang.
            Ku bayangkan juga. Betapa indahnya, bila ia menyelamatkanku dari segala bahaya yang mengancamku, dari segala jurang yang memerosokkanku, dari segala petir yang memekikku. Sampai akhirnya tirai itu terutup, aku berdiri memberi tepukan tangan. Meriah, sangat meriah. Aku akui, cerita itu, indah.
***
            “Sintiaaaaa!!!! Bangun!!!!”.
            GEDEBRUK!!!
            Tia membuka matanya. Dirasakannya bagian belakangnya sakit. Semakin lebar ia membuka mata, semakin ia sadar. Sekarang, ia sedang berada di lantai.
            “Sintiaaa!!!!”. Terdengar suara ibunya dari luar menggedor-gedor pintu kamar Sintia sambil teriak-teriak.
            “Huh!”. Gerutu Sintia. Ia baru ingat, bahwa tadi malam pintu kamarnya dikunci. Pantas saja ibunya sampai heboh begitu. Lalu, ia melihat jam digital yang ada di meja samping tempat tidurnya. Pukul 06:00
            “Haaaaaaaaaah???”. Seketika itu juga, mata Sintia terbuka sangat lebar. Seperti orang yang tidak sedang bangun tidur. Dengan sigap dan cepat ia langsung berlari ke kamar mandi dan segera mandi.
            Pagi itu ia menyiapkan dirinya dengan sangat tidak santai. Bahkan ia tidak sempat menyisir rambutnya dan membedaki wajahnya. Dalam hati ia berdoa, agar pagi yang terlambat ini tidak akan memasukannya pada buku yang berisi kumpulan-kumpulan murid yang terlambat.
            “Tiaaaaaa!”. Riri meneriaki Sintia dari lantai tiga.
            Di bawah, terlihat Sintia sedang berbaris bersama dengan lima orang yang terlambat. Sintia hanya mendelik pada Riri dengan muka asam.
            “Sintiaaaa! Semangat!!!!”.
            Lagi-lagi Riri bikin heboh. Bikin malu saja.
            “Hari  gini terlambat? Hahaha”. Ledek Riri pada jam istirahat.
            “Jarang-jarang, kok”. Protes  Sintia.
            “Huuu, makanya jangan suka begadang”.
            “Siapa juga yang begadang”.
            “Kamu itu begadang. Begadang memikirkan yang itu tuuuuh”. Riri menunjuk salah satu anak laki-laki yang sedang berkumpul di pinggir lapangan. Berbadan tinggi dan rambut lurus berantakan. Seketika itu juga Sintia terdiam.
            “Waaaa, tuhkan benerrrr”. Riri membuat Sintia tersentak dari lamunannya.
“Hahaha, ketahuan, nih yaaaa”.
            “Duuuuh, apa sih kamu. Ngeledek terus. Tuh, daripada kamu suka begadang mikirin dia”. Kali ini Sintia menunjuk Rino, teman sekelas mereka yang berbadan besar dan berkulit hitam. Badannya penuh keringat saat itu juga.
            “TIAAAA!!!!!!!!!!!!”. Protes Riri sambil menjitak kepala sahabatnya itu.
            Sintia tertawa, sambil berlari kecil menghindari hantaman dari sobatnya sejak TK itu. Tiba-tiba, ia merasa sesuatu bertabrakan dengan dirinya. Seketika itu juga, ia langsung terjatuh di lantai bersama dengan seorang siswa.
            “Maaf, maaf banget. Tadi nggak sengaja, kok”.      
            Sintia membulatkan matanya. Damar. Laki-laki yang baru ia liat di lapangan belum lama tadi. Kenapa tiba-tiba ada di sini? Berbicara dengan dirinya. Bersentuhan dengan tubuhnya. Sintia benar-benar merasa seperti ada di dalam surga dalam dunia yang begitu indah.  Ah, seandainya ini bisa lebih dari satu kali.
            “Oo… i…. iya.. nggak masalah, kok”. Dengan malunya, Sintia tersenyum kaku. Grogi lebih tepatnya.
            “Bener nih?”. Damar memastikan.
            “Iya, bener kok”. Sintia tersenyum. Senyumannya memang manis. Tapi ia gerogi saat itu.
            “Mmm, okedeh. Kalau gitu, duluan ya”. Damar meninggalkannya sebuah senyum. Ya, senyum itu sangat manis. Otomatis terekam dalam otaknya.
            “AAAAAAA!”. Dengan wajah gemerlangnya, Riri menghampiri sahabatnya itu. Terlihat, yang kaget bukan hanya Sintia. Tetapi, Riri pun juga ikut kaget dan berbunga-bunga.
            Sintia terdiam memandang lurus ke  arah perginya seorang Damar. Dengan matanya yang masih terbuka lebar dengan tatapan tak percaya. Mulutnya masih menganga dengan ngangaan tak percaya juga.
            “Beruntung kamu, Sin!”. Kata Riri sambil menepuk pundak Sintia. Keduanya terlihat bahagia tak percaya. Kejadian langka yang tidak akan pernah terlupakan selama hidupnya.
            “Ah, aku nggak percaya”. Reaksi Sintia singkat.
            “Aku juga”.
            “Itu Damar, Riiii”.
            “Aku tau, Tiiiiii”.
            “Itu beneran Damar, Riiiii”.
            “Aku punya mata, Tiiiiii”.
            Sintia tersadar. Ia mendelik pada Riri. Riri hanya mesam-mesem tak karuan. Dengan senyumannya yang aneh itu. Riri menjitak kepala Sintia perlahan.
            Sintia meringis, “kena kau”. Kata Riri puas.
            “Huh, menyebalkan!”.
            “Tapi aku tetap manis, kannn?’. Riri memamerkan giginya yang berhias pagar berwarna merah muda itu.
            “Huh, iya”. Jawab Sintia pasrah.
***
            Para Hanoman dengan sigapnya menelusuri hutan yang benar-benar gelap. Dengan kompaknya mereka berusaha mencari seorang putri cantik bernama, Sinta. Sang Rama menemukannya, berperang melawan sang Rahwana yang gagah. Akhir cerita, sang Rama berhasi membunuh Rahwana. Akhirnya, Rama dan Sinta hidup bahagia selamanya.
            KRINGGGG!!!!!!!!!!!!!!!
            Sintia terduduk kaget di atas tempat tidurnya. Sore ini, ia harus segera latihan menari di tempat kakek Sudjarwo. Ia langsung bergegas mandi dan mendadani diri secantik mungkin. Ia tersenyum anggun di depan cermin.
            “Wahai cermin. Apa yang kau lihat dari wajahku? Apakah tersirat seorang Sinta dari kerajaan Alengka? Apakah aku secantik dirinya?”. Sintia berbicara sendiri pada sebuah cermin.
            “Ndok, cepet!”. Terdengar ibunya telah memanggil dari luar.
            “Iya, bu. Sebentar lagi”.  
            Kemudian, Sintia mengambil tasnya dan bergegas masuk ke mobil di samping ibunya.
            “Kapan sendratari itu, Sin?”. Tanya ibunya setelah di dalam mobil dan bergegas menyalakan mesin.
            “Masih bulan depan, bu. Tokoh Rama pun belum terpilih”.
            “Tapi kamu tetap jadi Sinta, tho?”.
            “Iya, bu”.
            “Ya sudahlah semangat saja. Ibu tau, kamu pasti bisa melakukan yang terbaik”.
            Ibunya memang suka menasihatinya. Tetapi terkadang, ibunya bisa sangat galak apabila putri tunggalnya itu berbuat kesalahan.
            “Iya, bu. Ngerti”.
            “Yo wes, tadi belum sempat coba kue buatan ibu, tho?” Ibunya mengalihkan pembicaraan, “tadi ibu buat kue keju dicampur susu. Pasti kamu suka”.
            “Wah, yang benar, Bu? Mana-mana?”.
            “Ambil di jok belakang, kantong plastik warna merah. Di dalamnya ada tempat makan”.
            Sintia langsung menjalankan perintah ibunya dan segera mengambil sepotong. Di perjalanan, mereka terlihat sangat akrab. Sampai-sampai tidak terasa mereka sampai di tempat.
            “Perhatian, anak-anak semua. Hari ini, pemeran Rama sudah saya pilih. Tetapi, dikarenakan dua rekan kita yang menjadi kandidat berhalangan. Jadi, saya akan mengambil cucuk saya saja untuk menjadi pemeran tokoh Rama”. Pak Djarwo menjelaskan.
            Tak lama , Sintia dan ibunya datang.
            “Assalamualaikum”. Sapa Sintia sopan. Ia bersalaman dengan Pak Sudjarwo dan langsung masuk kebarisan. Ibunya pun juga menyalami Pak Sudjarwo, mengobrol sebentar dan pamit pada Sintia untuk pulang duluan.
            “Ya sudah, langsung saja. Perkenalkan, ayo, le kene”. Pak Sudjarwo memanggil cucuknya itu.
            Sintia langsung kaget.
            Laki-laki yang tinggi itu melemparkan senyum ramah pada semua murid kakeknya. Tak heran, banyak perempuan yang menganga takjub. Seakan-akan, Damar adalah benda antik yang langka dan jarang dilihat.
            “Hai, saya Damar. Saya harap, saya bisa bekerja sama dengan kalian semua”. Sapanya untuk yang pertama. Membuat kaum wanita seisi aula mabuk kepayang.
            “Baik, Damar. Mari kakek perkenalkan kamu dengan pasangan bermain kamu nanti”. Pak Sudjarwo mendadak lebih serius pada Damar, “Sintia, sebentar sini”.
            Dengan ekspresi yang masih kaget dan gugup sekali. Sintia maju dengan malu-malu.
            “Ini namanya, Sintia”. Pak Sudjarwo memperkenalkan Sintia pada cucuknya.
            “Loh, kamu. Kalau nggak salah, sepertinya aku pernah melihat kamu”. Kata-kata Damar membuat Sintia dan seluruh isi aula kaget. Damar masih ingat!
            “I.. iya. Aku rasa, kita satu sekolah”. Sintia mulai angkat bicara.
            “Wah, kebetulan kalau begitu. Mungkin kalian bisa bekerja sama, berkali-kali lipat lebih baik lagi. Saya yakin itu”. Pak Sudjarwo terlihat sangat senang, “baiklah semuanya. Mari kita mainkan scenario ini. Karena semuanya sudah lengkap”. Seluruhnya bertepuk tangan tanda semangat, “selamat datang, Damar”. Ucap kakeknya mengakhiri pembicaraan.
***
            “Iya, bener, Ri. Aku nggak bohong”.
            “Wah, bisa pas begitu. Aku nggak menyangka loh, Sin”.
            “Apalagi aku, Ri”.
            “Waduh, kamu bisa tambah akrab, dong”.
            “Aduh, nggak tau itu. Yang pasti, aku masih gugup banget tadi, Ri”.
            “Hahaha, itu kan masih pertemuan pertama , Sin. Lama-lama juga pasti biasa”.
            “Ya, semoga sajalah. Asal kau tau, Ri. Dia itu, sangaaat ramah dan baik hati. Senyumannya benar-benar tulus. Aku nggak menyangka aku bisa menikmati senyumannya dengan jarak sedekat itu, dengan waktu yang selama itu, dengan bebas, sebebas itu. Aaaaaaaah, Ri. Aku rasa, aku makin suka”.  
            “Halah, kamu, Sin. Namanya juga orang kasmaran pasti begitu. Ya sudah, aku mandi dulu, ya”.
            “Huuu, belum mandi kamu, ya? Pantas bau. Daaaahh, sampai ketemu besok, ya”.
            Sintia menutup pembicaraannya dengan Riri.
            “Halo, Sin”.
            Hari ini, Damar benar-benar menegur Sintia di sekolah. Ia tak menyangka ia bisa seakrab itu dengan seorang Damar. Rasanya, sangat-sangat menyenangkan. Ia membicarakan ini itu di sekolah, maupun di tempat latihan. Semakin sering juga mereka bertemu. Semakin sering juga ia melakukan adegan-adegan romantik yang sangat dekat.
            Suatu hari, Sinta menangis di sebuah taman. Rama datang dengan bahagia yang terkumpul sangat dalam. Mereka berdua berpelukan, melepas semua rindu yang pernah ada. Air mata terurai bebas, tanda mereka benar-benar bahagia. Rama dan Sinta bertatapan, dengan senyuman tersungging di masing-masing pihak. Senyuman yang tulus.
            “Senang Sekali aku bisa berpasangan denganmu”. Ujar Damar.
            “Wah, aku juga”. Sekarang, Sintia sudah terlihat tidak canggung lagi dengan Damar.
            “Hei, Sin”. Panggil Damar pelan. Kemudian mereka menghentikan langkah di pendopo, taman Pak Sudjarwo. Hari itu latian baru saja selesai. Damar menatap lekat Sintia. Jantung Sintia berdegup tak  karuan. Damar menyadari wajah anggun yang ayu dari perempuan di depannya. Senyumnya tersungging, “hati-hati kalau pulang”.
            Aaaaaah. Sintia benar-benar sudah terbang. Ia hamir kehilangan kembali. Rasanya, tak ingin ia beranjak pulang hari itu. Perlahan, Damar menggenggam tangannya. Perlahan, menyusuri jalan setapak bersama dengan bergandengan tangan tanpa sadar.
***
            Sintia sudah ada di ruang rias. Lengkap dengan polesan make-up dan kostum tari yang anggun. Ia terlihat sangat cantik dan berbeda malam itu.
            Teater Sriwedari, Solo sudah penuh dengan pengunjung. Mobil atau motor sudah terparkir penuh di parkiran. Semua sibuk membereskan pakaian mereka yang sedikit kusut. Di tempat lain, seorang Rama sedang sibuk menatap dirinya di depan cermin. Sungguh gagahnya laki-laki itu malam ini.
            Ibu Sintia, ayah Sintia dan Riri telah duduk di bangku penonton dengan pakaian yang sangat rapi malam itu. Semua terlihat formal dan cantik. Keren sekali. Para pemain berkumpul di belakang. Hampir tak berkedip Sintia melihat Damar. Sungguh, betapa tampannya pria itu malam ini. Gagah sekali.
            Begitupun Damar, hampir tak berkedip melihat pasangan bermainnya. Sintia telihat sangat cantik dan anggun sekali.
            Pementasan pun di mulai, putri cantik bagaikan dari kahyangan muncul dengan gemulai dari belakang panggung. Dewi Sinta tersenyum anggun sambil menggerakan tubuhnya yang benar-benar lentur. Membuat semua orang terpukau. Prabu Janaka menyusul, ia mengatakan akan mengadakan sayembara untuk dapat menikahi putri kesayangannya itu. Seorang Raden Rama Wijaya pun masuk ke panggung, laki-laki tampan itu ternyata berhasil memenangkan sayembara. Mereka hidup bahagia sampai pada akhirnya, Rahmana menculik sang Dewi Sinta dan menyembunyikannya di kerjaan Alengka.
Rama pun terlihat sangat sedih. Para Hanoman yang biasanya terlihat ceria, juga ikut sedih melihat pangerannya teruduk lesu. Raden Rama pun tak tahan, ia memerintahkan para hanoman untuk mencari Sinta ke kerajaan Alengka. Tak menyangka para hanoman pun menemukannya. Akan tetapi, Rahmana membakar para hanoman, terutama yang berwarna putih.
Api bergerak-gerak di mana-mana. Tetapi, ternyata api itu tidak berhasil membakarnya. Hanoman berhasil lolos dan pulang untuk melapor diri pada sang Rama. Sang Rama marah, ia pun mengumpulkan pasukan, mendatangi kerjaan Alengka dengan kasar. Menciptakan pertarungan, sengit dan menyeramkan. Sampai pada akhirnya, Rahmana terbunuh. Dengan cepat, Rama memasuki istana Alengka dan melihat isterinya yang menangis. Mereka berdua bertatapan, dengan linangan air mata tanda bahagia. Keduanya berpelukan, melepaskan kerinduan.
            Kini, untuk memeluk dan menatap laki-laki di depannya, Sintia tak perlu sembunyi-sembunyi. Impiannya, tanpa disengaja pun terwujud. Seorang Damar yang telah lama dipujanya, kini berada dipelukannya. Memeluknya dengan erat, menatapnya dengan tatapan tulus dengan senyum yang ia dambakan. Dari tempat duduk penonton, Riri melihat keduanya dengan sangat bahagia. Ia tahu, sahabatnya sedang menikmati kebahagiannya sekarang.
            Rama dan Sinta, hidup bahagia selama-lamanya. Penonton berdiri, memberikan tepuk tangan yang sangat meriah. Sintia tersenyum kepada semua orang yang menatapnya. Rama pun begitu. Mereka berdua saling bertatapan. Dengan penuh arti dan ketulusan. Takdir memang menentukan mereka harus bersama. Rama dan Sinta, untuk selamanya.
***
BK: 031012