Sosok Singkat
Pagi
yang cerah, sungguh
mengawali hari Oliv pada Senin itu. Tepat pukul enam kurang lima belas menit,
ia ke luar rumah dan menutup pagarnya.
”Assalamualaikum. Oliv berangkat!”. Pamitnya
riang.
“Waalaikumsalam. Hati-hati,
Liv”. Terdengar suara ibunya dari dalam.
Hari
Senin yang biasa.
Harus bangun lebih pagi, harus memperhatikan seragam
benar-benar teliti dan semua harus bersih dan rapi. Ya, memang. Oliv memang bersekolah
di sekolah swasa.
Tapi, sekolah Oliv bukanlah sekolah
swasta yang dapat menentukan tata tertib sendiri.
Sekolahnya tetap melaksanakan
Upacara tiap Senin pagi. Maka itu, ia benar-benar harus memperhatikan tata tertib sekolahnya
yang sudah berlaku
sejak bertahun-tahun lalu itu.
Dengan
riang, ia berjalan
melewati gang kecil dari rumahnya,
menunggu bis dengan
bosan di halte dan ia baru mendapat
bis yang memiliki
lahan untuk dirinya
setelah dua puluh menit berlalu.
Ia turun di halte selanjutnya
dan berniat untuk naik bis lain. Betapa
kagetnya bahwa jalanan
di depannya sungguh
ramai dengan anak laki-laki seusianya,
mengenakan putih biru dan terlihat
emosi. Jantung Oliv tiba-tiba berdetak
kencang, ia benar-benar
panik. Tak ada seorang pun yang ia kenal. Ia bingung bercampur
takut. Rasanya, ia berada di suatu sisi antara hidup dan mati, tanpa pilihan
untuk berlari sekalipun.
Tiba-tiba dari arah depan, melayang
sebuah batu yang berukuran cukup besar ke arahnya. Matanya
terbelalak, ia tak bisa berbuat
apa-apa. Seketika ia pasrah, ia menjerit dalam hati. Ia pejamkan matanya,
berserah diri dengan
apa yang akan terjadi setelahnya.
Tiba-tiba seseorang menarik
lengannya, batu itu mendarat pecah di jalanan
beraspal. Oliv terjongkok
di balik tembok.
Ia masih belum tahu apa dia akan selamat setelah
ia buka matanya.
“Eh,
eh! Kamu nggak papa?”. Seseorang
memanggilnya. Tak jelas apa tujuannya.
Tidak terdengar panik,
tidak juga terdengar
cuek.
Perlahan ia buka matanya.
Ia kaget saat itu juga. Seorang laki-laki
bertubuh tinggi, berkulit
coklat Indonesia, tubuhnya
dipenuhi peluh dan ada sedikit
luka dibagian pipinya.
Oliv pasrah untuk yang kedua kalinya.
“Eh,
jawab, dong! Kok diem aja, sih?”. Kata laki-laki itu lagi.
Oliv
benar-benar bingung sekarang.
Ia melihat ke bagian kiri seragam laki-laki
itu. Bertuliskan, Alif Praditya.
Oliv yakin, itu adalah namanya.
Oliv memandang sekeliling,
dengan hati-hati ia memandang laki-laki
itu, agak bergeser
sedikit, sadar karena
laki-laki itu tidak bereaksi, Oliv langsung berlari
ke arah kanan yang benar-benar
kosong itu. Oliv tetap berlari
dan terus berlari.
Ia merasa aman sekarang. Oliv mengatur nafasnya
dan menatap jam yang ada di tangannya.
Matanya terbuka lebar,
pukul delapan!!!! Ah, Oliv sudah berlari terlalu
jauh. Akhirnya Oliv memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
“Lif,
kenapa daritadi mukamu
ditekuk begitu?”. Tanya Arbi keesokan
harinya saat gengnya
sedang berkumpul di samping sekolah.
“Iya,
dari kemaren, loh”. Ari menyetujui
Arbi.
“Ceritalah. Pasti lagi ada masalah. Nggak mungkin kamu kesal, tawuran
kemarin kan kita menang”. Prio ikut-ikut menyahut.
Alif
memandang teman-temannya. Mereka
belum lama kenal,
tetapi mereka sangat
peka terhadap sesamanya.
Sahabat-sahabatnya itu memang
orang yang peduli.
Alif jadi salah tingkah.
“Mmmm,
kemarin”. Akhirnya Alif buka mulut juga. Teman-temannya makin penasaran. Semua perhatian teman-temannya menuju
pada Alif dengan
ekspresi yang sama. Penasaran.
“Di
tengah keributan, aku bertemu seorang
perempuan. Hampir saja dia tertimpuk
batu. Tapi, ia benar-benar tak tahu diri”.
Alif memandang sahabat-sahabatnya satu persatu, “waktu
aku tanya apa dia baik-baik
saja, ia malah lari. Tidak menjawab. Bayangkan?
Arrggggh!”. Seketika Alif
terlihat kesal lagi.
Sahabat-sahabatnya itu saling pandang,
tak lama bunyi siulan pelan terdengar dari salah seorang
sahabatnya. Alif tidak menghiraukan, ia masih tetap terlihat kesal.
“Hai,
sobat. Jadi cintamu
berawal dari sebuah
tawuran?”. Ari mendekati
Alif.
Alif
menoleh kaget, memandangnya
sahabatnya heran, “hah? Kau gila! Aku kesal dengan gadis itu. Cinta?
Hahaha, jauh, ya”.
“Heh,
apa kau tak ingat benci jadi cinta?”.
Prio ikut meledek.
“Kalau
aku percaya percaya
saja. Seruuuu”. Sambung
Arbi diikuti suara tertawa teman-teman
yang lainnya.
Suara
bel masuk memotong
pertemuan geng nakal itu. Dengan
terpaksa, mereka masuk ke kelas masing-masing.
BRUK!!!
“Hei!
Yang benar dong kalau jalan!”.
Alif marah-marah sambil
terduduk di lantai.
Ia tahu badannya
telah bertabrakan dengan
seseorang. Dengan mata berkerut, dipandangnya
orang yang telah bertabrakan dengannya
itu. Kerutannnya semakin
naik.
“Kau?”. Kata Alif heran.
Nirana menganga. Alif berdiri dengan
tergesa. “Bisa nggak kalau sopan sedikit?”.
Nirana
tidak menjawab. Ia masih menganga
heran.
Alif
melotot, “hei! Apakah
sekolah ini menerima
anak yang bisu dan tuli, hah?”.
Nirana
yang tadi menganga
langsung mengatupkan mulutnya
dan terbuka lagi dengan sorot yang berbeda,
“apa? Apa maksudmu?
Hei! Dengar, ya. Aku normal!
Bisa-bisanya kamu mengataiku
seperti itu. Kau pikir kamu siapa?”.
“Aku
siswa lama di sini. Tak pernah aku lihat batang
hidungmu sebelumnya. Yang aku tahu, kamu adalah
seorang siswi SMP Bangsa yang tak tahu sopan santun
dan terima kasih.
Ya, aku tahu itu!”.
“Apa
maumu bilang begitu,
hah?”. Nirana menurunkan
volumenya, “oooooh, kamu anak brandal
yang suka tawuran
itu, ya? Apa kau fikir kamu tau sopan santun?
Apa kau fikir kamu punya kepribadian yang patut dicontoh?”.
Alif
melotot, hamper saja tangannya menampar
gadis mungil di depannya itu. Tanpa basa-basi,
ia meninggalkan perempuan
itu dengan emosi level tinggi.
Nirana
memandang heran dengannya.
Kecewa, bingung, rasa bersalah, takut,
sebal dan segalanya
bercampur jadi satu ekspresi yang tak tertebak.
Pulang
sekolah, Nirana membantu
pamannya melayani pelanggan
bakso yang memenuhi
kios pamannya itu. Nirana terlihat
lebih segar dan lebih rapih.
Senyumnya yang khas dengan lesung
pipi itu menggambarkan
sikap ramah dalam dirinya.
Alif
mematikan mesin motornya.
Melipat jaketnya dan masuk ke dalam kios bakso dengan
perut yang lapar.
Begitu kagetnya, setelah
mendapati seorang perempuan
yang ada di depannya sangatlah
ia kenal.
Cewek itu! Batinnya.
“Misi,
pak. Saya pesan bakso satu mangkok, campur”.
Pesan Alif dengan
jutek dan langsung
duduk di bagian
pojok samping.
“Eh,
Alif. Duduk, nak. Nih, bapak akan siapkan
makan siangmu hari ini”. Paman Nirana terlihat
sangat akrab dengan
Alif.
Nirana
benar-benar kaget saat benar-benar sadar,
ada seorang laki-laki
aneh yang makan di kios pamannya itu.
“Rana,
tolong bawakan ini pada pelanggan
itu, ya. Dia satu sekolah
denganmu, loh”. Nirana
kaget. Pamannya benar-benar
dekat dengan Alif.
Dengan
terpaksa dan agak sedikit tegang,
ia antarkan semangkok
bakso dan segelas
es teh ke meja Alif.
“Nih”.
Dengan juteknya, Nirana
menaruh pesanan Alif dengan sedikit
kasar.
Alis
Alif berkerut, “apa ada pelayan
yang jutek, gitu? Mana laku dangangannya”.
“Cerewet! Makan saja, nggak usah banyak
omong”.
“Loh,
kok gitu? Kamu memang benar-benar
tidak tahu sopan santun. Padahal
pak Armin sangat
ramah”.
Nirana
terbelalak. Seberapa jauh laki-laki itu tahu tentang
pamannya?
“Silahkan. Dimakan”.
Kata Nirana seratus
persen jutek dan langsung berlalu
pergi. Alif geleng-geleng
kepala dan langsung
memulai makan siangnya.
--------------------------------
Nirana
cepat-cepat menyebrang menuju
sekolahnya. Begitu kagetnya
setelah ia melihat
pagarnya telat tertutup
rapat.
Tidaaaaak!!!!!!! Batinnya berteriak.
Hari
ini ia terlambat
ke sekolah. Oh, betapa sialnya
hanya ada dirinya
di tempat itu. Dengan lunglai,
ia duduk di bawah, menunggu
toleransi dari sekolah.
Datang seorang laki-laki
dengan paniknya dan terlihat tampangnya
yang sangat lelah itu.
“Oh,
tidak! Sial!”. Umpat laki-laki itu.
Betapa
kagetnya, Alif memandang
perempuan yang ada di bawahnya.
Memandangnya dengan mata terbuka lebar.
“Kau
lagi!”. Ucap mereka
berbarengan.
“Ah!
Sedang apa kau?”.
Tanya Alif sewot.
“Kau
yang sedang apa? Ah,tak sudi aku menunggu
pagar ini terbuka
hanya denganmu di sini”. Kata Nirana.
“Apalagi aku”. Ucap Alif santai dan duduk di depan Nirana.
Jaraknya agak jauh.
Suasana terlambat
itu, mendadak canggung.
Mereka berdua sibuk dengan handphone nya masing-masing. Tak ada yang mereka perbuat
dengan hapenya itu. Hanya untuk mengisi detik-detik
kekosongan yang menyiksa
itu saja.
Nirana
menyerah.
“Kemarin itu kios pamanku”.
Nirana membuka mulut.
Alif sedikit
kaget, canggung, dengan
pelan ia menatap
Nirana heran, “kamu bicara denganku?”.
“Kamu kira aku gila? Ya jelas aku bicara
denganmu. Dasar cowok aneh!”. Kata Nirana sewot.
“Ck, aku kira kamu ngomong dengan
tembok”.
Nirana terbelalak,
tapi ia berusaha
mengontrol emosinya.
“Oke, aku Nirana”. Ucapnya
dengan agak terpaksa.
Alif memandangi
Nirana dari bawah sampai atas, “Alif”. Jawabnya
singkat.
“Sudah tahu”.
“Sudah tahu?”.
“Ya, aku tahu namamu”.
Alif jadi bingung.
“Maaf. Waktu tawuran waktu itu”. Nirana
benar-benar terlihat berbeda
pada Alif. Ia tidak emosi saat itu, “terima kasih sudah menolongku”.
Alif menatap
Nirana dengan sedikit
canggung dan agak heran. Tapi ia lega, perempuan di depannya itu mengakui kesalahannya
juga. “Mmmm, tidak masalah”.
“Kalau tidak ada kamu, mungkin aku tidak akan sekolah hari ini. Tidak akan bantu paman lagi. Tidak akan duduk di depanmu seperti
ini”.
Sejenak keduanya
tertawa kecil.
“Pak Armin pamanmu?”. Tanya Alif tanpa ada rasa canggung dan emosi lagi.
Nirana mengangguk
manis, “ya, aku tinggal dengannya.
Aku siswi beasiswa
di sini”.
Alif memandang
Nirana. Ya, Nirana
lebih sederhana daripada
teman-teman perempuannya yang lain.
“Aku langganan
makan bakso di tempat pamanmu.
Teman-temanku juga”. Cerita
Alif.
“Aku kaget kamu datang
ke kios dengan
enjoy”.
“Aku kaget ada pelayan
di sana. Dan itu kamu”.
Keduanya tertawa
lagi. Tiba-tiba pak Min, satpam
sekolah membuka pintu pagar. Refleks,
Nirana dan Alif berdiri dari duduknya.
“Kalian diperbolehkan
masuk”.
Nirana dan Alif sangat
lega. Belum ada banyak waktu untuk bercerita,
takdir malah memotongnya.
Mungkin sudah direncanakan
untuk waktu lain mereka berbincang.
--------------------------
Seperti biasa,
sepulang sekolah Nirana
membantu pamannya di kios. Ia memang belum lama membantu
pamannya, tetapi ia sudah telaten
melayani para pelanggan
yang banyak permintaan.
Tapi,
siang ini suasana
begitu berbeda. Nirana
lebih bersemangat daripada
biasanya.
“Silahkan, pak. Mau pesan apa?”. Kata Alif pada seorang pelanggan.
Nirana memandang Alif yang sedang
ramah melayani pelanggan.
Siang
ini, Alif berjanji
untuk membantu Nirana
dan pak Armin di kiosnya.
Pastilah itu membuat
Nirana sangat senang.
Nirana
tersenyum pada Alif saat mereka
tak sengaja berpandangan.
Alif terlihat sedikit
malu. Nirana langsung
tertunduk dan menatap
asal sekeliling. Muka mereka sama-sama
semerah tomat. Pak Armin yang melihat kejadian
itu hanya senyum-senyum
tanpa jelas.
Alif
terlihat sangat menikmati
apa yang ia lakukan saat itu. Nirana
yang lebih terbiasa
terlihat lebih bersemangat.
Lalu mereka berdua
istirahat di salah satu bangku
saat kios sepi.
“Huh”.
Kata Alif sambil
duduk dan mengelap
keringatnya.
“Mau
aku ambilkan minum?”.
Nirina menawarkan.
“Mmmm,
boleh deh”. Terima
Alif tersenyum.
“Mau
minum apa?”.
“Apa
aja boleh kok”.
Nirina
bangkit dan kembali
lagi sambil membawa
dua botol aqua dingin dari lemari pendingin.
“Capek, nggak”.
Tanya Nirina sambil
duduk di samping
Alif.
“Lumayan”. Kata Alif tersenyum
setelah menelan tegukan
terakhirnya.
“Duh,
sampai habis begitu
airnya”.
“Artinya capekku
ngga bohong, dong”.
Mereka
sama-sama tersenyum.
“Kalau
ramai begini, asik ya”. Alif memulai pembicaraan
lagi dengan lebih santai.
“Pasti. Paman juga lebih senang dan semangat”. Jawab Nirina sambil
menyunggingkan senyumnya yang manis itu.
Alif
menatap perempuan di depannya. Garis wajah Nirina
jadi lebih jelas.
Hidungnya yang sedikit
maju itu jadi jelas, bibirnya
yang tipis kecil juga lebih jelas, mata coklatnya dan alis mata yang rapih juga begitu
jelas. Nirina salah tingkah. Alif tersadar dan ikut salah tingkah.
“Mmmm,
aku cuci piring
dulu ya”. Pamit Nirina mengakhiri
tingkah aneh mereka
berdua.
Belum
lama Nirina pergi,
segerombolan anak laki-laki
pun datang. Alif menatap gerombolan
itu dan tersadar
bahwa itu sahabat-sahabatnya. Lalu ia membetulkan
posisi duduknya.
“Loh,
Lif! Kau di sini?”. Tanya Bruno.
“Ngapain?”. Sambung
Ari.
“Nggak. Nggak melakukan apa-apa.
Hehehe”. Jawab Alif salah tingkat.
“Tadi
tuh, si Alif bantu bapak dan keponakan
bapak melayani para pelanggan. Si Alif tuh, ternyata ada bakat jadi pelayan juga, loh. Dia ramah dan sabar”. Sela pak Armin dengan logat Jawanya.
Teman-teman Alif kaget. Alif jadi malu sendiri.
“Ah,
serius nih? Wah, asik dong”.
“Iya,
iya. Keponakan bapak yang mana?”.
“Kok
nggak bilang-bilang sih, Lif?”.
Banyak
komentar yang terlontar
dari sahabat-sahabatnya. Alif jadi bingung
ingin jawab apa. Dan ia memilih untuk diam saja. Tak lama, Nirina muncul
dengan anggunnya. Spontan,
semua anak laki-laki
bandel itu memandang
ke arah Nirina.
“Wah,
itu adik kelas kita, kan?”.
Sahut Prio.
“Oh,
iya. Jangan-jangan itu perempuan yang waktu itu…”.
Alif menginjak kaki Arbi. Hampir
saja ia ketahuan
membicarakan Nirina.
“Perkenalkan, keponakan
bapak. Ia duduk di kelas delapan sekarang.
Kalian kelas sembilan,
bukan? Jadi adik kelas kalian
ini. Namanya, Nirina.
Kelihatan sangat akrab dengan Alif, loh. Masa kalian nggak tau?”. Pak Armin menjelaskan
panjang lebar. Alif dan Nirina
jadi kikuk. Semuanya
saling berpandangan.
“Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah”.
Hampir
setiap hari Alif membantu di kios pak Armin. Nirina
dan Alif jadi semakin akrab dan semakin
dekat. Alif sudah jarang ikut tawuran lagi, bahkan tidak pernah.
Sampai
suatu ketika, “eh, Lif. Kamu naksir dengan
keponakan pak Armin itu?”. Tanya Ari saat mereka semua berkumpul di kelas Alif.
Belum
sempat Alif menjawab,
seorang anak kelas delapan menghampiri
Alif dan teman-temannya dengan
ngos-ngosan.
“Eh,
eh, eh! Tenang!
Ada apa, sih?”.
Tanya Ari heran.
“Itu,
itu, kak. SMP Abdi Bangsa
menyerang sekolah kita. Sekarang mereka
lagi tanding di jalan Persimpangan.
Lagi sengit-sengitnya dan sudah banyak
korban luka dari sekolah kita, kak. Ini benar-benar parah,
kak”.
Alif
dan gerombolannya itu saling pandang
heran. Dengan muka tak enak, Alif terpaksa
mengangguk. Untuk pertama
kali dari peristirahatannya tak turun ke lapangan untuk beradu kejantanan,
ia bersama para sahabat-sahabatnya itu berlari menuju
jalan Persimpangan.
Sampai
tempat, Arbi mengambil
batu yang ada di sekitar
dan langsung melemparkan
ke arah lawan.
Batu-batu melayang di atasnya. Seseorang
memberikan sebuah celurit
pada Alif. Dengan
sigap, Alif menerimanya.
Tiba-tiba bayangan Nirina
terngiang di kepalanya.
Nirina, gadis manis yang mengubah
hidupnya. Dan ia sungguh menyesal
untuk hari ini dan berjanji
ini untuk yang terakhir kalinya.
Zlet!!
Sebuah baretan dari sebuah pisau mendarat di tangan Alif. Alif yang tidak siap itu langsung
terjatuh di tanah.
Darah ke luar dengan bebasnya
dari kulit Alif yang terbelah
itu. Alif segera
bangkit dan melawan
laki-laki bermotor itu. Ia berlari
mengejar dengan cepat,
melawan, menghindari setiap
musuh menyerang. Ia begitu menyesali
apa yang sedang
dilakukannya sekarang ini.
Nirina, ini untuk yang terakhir kalinya.
Katanya dalam hati.
Suara
sirine mobil polisi
terdengar begitu riuh. Alif tersentak
kaget. Semua kaget dan refleks
berlari cepat. Alif yang tiba-tiba
linglung, ikut-ikut berlari.
Tetapi sayang, kecepatannya
kurang dan membuat
dua orang polisi
berhasil menangkap laki-laki
yang tangannya penuh darah itu. Alif meringis,
mencoba melepaskan, tapi tetap tidak bisa. Ia digeret menuju
mobil polisi, tangannya
mulai digandengkan dan diborgol. Untuk yang pertama
kalinya, besi hina itu melingkar
di tangannya. Seketika
itu juga, ia menunduk pasrah.
--------------------------
Sudah
seminggu Alif tidak masuk sekolah.
Nirina baru sampai
di sekolah, ia memandang gerbang
kokoh sekolahnya itu. Teringat saat ia dan Alif baru akrab. Tanpa sengaja, Nirina
tersenyum kecil. Ia berjalan lagi, mulai memasuki
dan melewati gerbang
itu. Ia melewati
koridor lantai satu. Terlihat Alif dan seorang
pria empat puluhan
ke luar dari ruang kepala
sekolah yang ada di lantai
dua itu. Nirina
sudah tahu ceritanya.
Ia memang agak kecewa dengan
Alif, tapi bila dihitung,
rasa
rindunya lebih banyak
daripada rasa kecewanya
Sore itu, Nirina
sedang duduk-duduk di depan teras rumahnya. Sebuah
sepeda motor dengan
pengendara laki-laki remaja
menepi di depan rumahnya yang sederhana itu. Alif melepas
helm dan jaketnya,
lalu berjalan ke arah Nirina.
“Boleh aku duduk?”.
Tanya Alif dengan
tenang. Sungguh tenang.
“Mmm, silahkan”. Nirina
jadi lebih canggung.
“Apa kabar, Rin?”.
Tanya Alif lagi, setelah duduk di samping
Nirina.
“B… baik, kok”.
“Bagus, deh”. Alif tersenyum.
“Kamu sendiri, bagaimana?”.
Alif mengangguk.
Lalu keadaan menjadi
hening. Semua kembali
seperti semula. Canggung.
Tidak dengan emosi,
canggung dengan perasaan
serba salah.
“Maaf”. Alif membuka
mulut kemudian.
Nirina memandang laki-laki
di sebelahnya dengan
heran, “buat apa?”.
“Maaf, maaf aku mengecewakanmu”.
Sejenak Nirina mengerti.
“Mmm, nggak masalah,
kok. Aku tahu kamu nggak mudah buat langsung berubah.
Itu bertahap, nggak masalah. Aku tahu itu”.
Alif terdiam.
“Sebenarnya,
bukan itu”.
Nirina menatap Alif heran. Ia mengerenyitkan dahi, berharap bingung
dengan semua ini.
“Maafkan aku harus pergi”.
Nirina semakin heran,
ia memberikan perhatiannya
penuh pada Alif.
“Gara-gara aku tawuran kemarin.
Ayah…”. Alif menarik
nafas dalam, “nggak
ada pilihan lain, Rin. Ayah memindahkanku ke Amrik”.
Seketika itu, Alif langsung
menunduk. Ia tak berani menatap
Nirina. Benar-benar bingung,
sedih, kecewa, segalanya
tercampur. Intinya, ia merasa tidak tenang saat itu.
Nirina
menganga. Bukan karena
ledekan Alif, bukan karena cemohan
Alif, tetapi, perkataan
yang ke luar dari mulut Alif. Yang menandakan mereka
harus, berpisah.
Sekali
lagi, Nirina tidak dapat berkata.
Ia hanya bisa menganga heran.
Matanya mulai basah,
tubuhnya gemetar. Tak karuan ia rasakan. Jantungnya
benar-benar tak kompak
saat itu, berdetak
tak teratur. Rasanya,
hatinya seperti teriris
dan irisan itu menghasilkan air darah yang menyakitkan. Perih.
Seperih jatuh tak dapat dibangkitkan.
“Maaf,
Nirina. Aku tahu ini salah aku. Aku benar-benar menyesal
melakukan hal sebodoh
ini. Jujur, aku beruntung bertemu
kamu. Aku bisa menghentikan kelakukan
bodohku itu. Meski hanya..”.
“Lif”.
Perkataan Alif terpotong.
Nirina menduduk, benar-benar
tak berani menatap
Alif. Sekarang ia sudah sesenggukan
tak karuan.
Alif
memandang Nirina sejenak,
lalu bangkit dan memeluk gadis itu. Erat, semakin erat. “Maafkan aku, Nirina. Aku janji perang
itu untuk yang terakhir kalinya”.
Nirina
membiarkan badannya dalam pelukan Alif. Hangat. Kehangatan
yang benar-benar mengiris
pedih. Alif membiarkan
air mata Nirina
tumpah membasahi bajunya.
Sungguh pedih sore itu. Gerimis
pun muncul. Mereka
benar-benar tak punya pilihan.
Alif
melepaskan pelukannya. Lalu menatap gadis manis di depannya itu. Mereka hanya saling tatap.
Tak usah diucap,
mereka tahu apa yang mereka
berdua saling rasakan.
Tak usah diucap,
mereka tahu apa yang sedang
mereka hubungkan. Tak usah diucap,
mereka tahu apa arti tatapan
itu. Tak usah diucap, mereka
tahu perasaan apa yang terhubung
di antara mereka.
“Seandainya kemarin
aku nggak membantu
mereka. Pasti nggak akan seperti
ini”.
“Jangan salahkan
kamu, Lif. Ini takdir”.
Mereka
terdiam.
“Aku
berangkat hari ini”.
Nirina
memandang Alif. Diam, tak bersuara.
Ia memandang Alif penuh arti. Alif mengerti.
Hati mereka berbicara,
bukan mulut, bukan suara. Mereka
sedang berkontak. Kontak
lain, kontak yang berbeda.
“Aku
nggak bisa antar kamu ke bandara”. Alif memandang Nirina
bingung, “aku nggak sanggup, Lif”. Sekarang, pipi Nirina sudah basah kuyup.
“Ada
apa ini?”. Pak Armin muncul
dari balik pintu.
Nirina
dan Alif memandang
pak Armin. Tiba-tiba,
Alif memeluk pak Armin. Pak Armin menatap
keponakannya yang sembap
itu bingung. Akhirnya,
dengan berat hati pak Armin sudah mengira.
Dan ia yakin perkirannya itu benar.
“Sudah
saatnya, Nirina, pak”. Kata Alif kemudian.
“Apa
ini menjadi yang terakhir, Lif?”.
Tanya Nirina tak rela. Alif bingung tak menjawab. Nirina
mendesah.
“Maaf”. Hanya kata-kata itu yang dapat ke luar dari mulut Alif.
Perlahan, kakinya
melangkah mundur, menjauh,
benar-benar menjauh. Dengan
gemetar ia kenakan
jaket dan helmnya.
Membiarkan penutup kaca helm terbuka,
juga membiarkan Nirina
menatap wajahnya. Mungkin,
untuk yang terakhir
kalinya.
Dengan
berat, Alif menyalakan
mesin motornya dan berlalu pergi.
Nirina benar-benar seperti
tersambar petir. Pak Armin memeluk
keponakannya itu erat. Sungguh menyakitkan
perpisahan itu. Kisah singkat yang begitu berharga.
Sosok singkat Alif yang benar-benar
membuatnya mengerti dan mengenal. Apa itu, cinta.
-THE END-